ja jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Seberang Mustari dan Kampung Cicaringin untuk menyeberang Sungai Ciliman.
Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
"Kasian anak-anak,
mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum
lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya
besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.
Bagi
Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan
kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah
terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga.
Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang
perjalanan mereka.
Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang
anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih
mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.
Satu
ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 -
Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang
memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang
dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia
mereka.
sumber : kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar