Suasana pedesaan begitu terasa saat memasuk Desa Cicaringin.
Rumah-rumah panggung berdinding anyaman bambu menjadi pemandangan
sebagian besar rumah warga. Desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari
pusat Kota Serang boleh dibilang miskin infrastruktur.
Tak hanya
akses jalan utama menuju desa ini rusak parah dan terkelupas aspalnya,
namun sudah hampir lima bulan warga harus susah payah meniti kawat ba
ja jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Seberang Mustari dan Kampung Cicaringin untuk menyeberang Sungai Ciliman.
ja jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Seberang Mustari dan Kampung Cicaringin untuk menyeberang Sungai Ciliman.
Bagi anak-anak desa
yang umumnya masih duduk di bangku sekolah dasar, menyeberang jembatan
rusak akibat tersapu banjir bandang bukan tanpa rasa takut.
Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
Sementara
itu sepuluh meter di bawah mereka, air Sungai Ciliman mengalir deras.
Saat Sungai Ciliman banjir, niat anak-anak pergi ke sekolah pupus,
mereka memilih untuk tidak pergi sekolah.
"Kasian anak-anak,
mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum
lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya
besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.
Perjalanan
mencapai sekolah di SD Negeri Cicaringin 3 semakin berat bagi anak
seusia mereka. Pagi-pagi buta bocah-bacah yang sebagian besar anak buruh
penyadap karet dan petani ini sudah bangun dan menempuh perjalanan kaki
sejauh enam kilometer pergi pulang ke sekolah. Tak heran jika orang tua
di desa ini mulai memasukkan anaknya ke sekolah dasar pada usia delapan
tahun karena pertimbangan fisik untuk menempuh perjalanan jauh.
Bagi
Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan
kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah
terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga.
Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang
perjalanan mereka.
Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang
anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih
mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.
Satu
ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 -
Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang
memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang
dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia
mereka.
sumber : kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar