“Aku bukan pemimpi yang terjamah dalam lakon empuknya kasur di
etalase malam atau pun nikmatnya hegemoni bantal berlatar siang. Aku
bukan pula pemimpi yang bersenandung dengan kidung-kidung utopis. Aku,
cukuplah bagi diriku, seorang pemimpi dengan kontemplasi sebagai perigi
di tengah gersang dan menjadi mata air kehidupan.”
Yap!
Teman-teman semua pastinya sudah sering mendengarkan kata “MIMPI” kan??
Apalagi sebagai seorang mahasiswa. Tentunya banyak sekali mimpi-mimpi
yang selalu membayang-bayangi untuk segera direalisasikan. Misalnya
saja, tamat kuliah dengan IP tertinggi, terus kerja dan punya
penghasilan sendiri, nikah sama orang yang cakep dan shalih/ah, punya
anak dan seterusnya yang nggak mungkin diselesaikan kelanjutannya.
Hehehe…
Semua itu sangat diperbolehkan dan sangat penting untuk
dimiliki. Kenapa? Karena kita bermimpi untuk hidup. Bukan hidup untuk
bermimpi. Manusia yang bermimpi untuk hidup, selalu berupaya
mensinergikan kemampuan yang ada untuk terus bergerak menghasilkan karya
dengan apa pun yang ia punya. Ia gunakan akalnya untuk selalu aktif
mencari solusi dan beragam inovasi. Ia gunakan tangannya untuk selalu
sigap membuahkan prestasi dan melakukan aksi. Kakinya juga tak pernah
letih melangkah ke forum-forum yang bermanfaat, mencari
sebanyak-banyaknya ilmu dan wawasan. Sedangkan orang yang hidup untuk
bermimpi, lebih senang melewatkan waktunya bersama bunga-bunga tidur nan
melenakan. Hanya mampu mengkhayal, tak mampu melaksanakan.
Sungguh
sebait kata hikmah telah menyorot begitu luar biasanya mimpi dan
cita-cita itu. “Cita-cita merupakan rahmat dari Allah. Kalau bukan
karena cita-cita, maka seorang ibu tidak akan menyusui anaknya dan
seorang petani tidak akan menanam padi.”
Namun, sebenarnya yang
kerap terlupakan oleh kita, “Apakah sesungguhnya orientasi dari
mimpi-mimpi yang kita miliki?” Apakah mimpi kita hanya tertaut pada
gunungan harta, kemilau prestise dan mengulik celah kursi untuk
menduduki jabatan yang tinggi?? Ataukah kita benar-benar seorang pemimpi
sejati yang menggenapkan mimpi dengan orientasi kemanfaatan bagi
orang-orang di sekitar kita??
Seringkali kini, atas nama karier,
kita sering terjebak dalam keegoisan bermimpi. Kita hanya bermimpi
dengan orientasi pribadi. Tujuan untuk diri sendiri. Jadilah akhirnya,
jalan yang kita tempuh tanpa melihat kanan kiri. Atau istilahnya, “Asal
mimpiku tuntas, semua jalan akan kulibas.” Padahal, akibatnya sangat
merugikan kita sendiri.
Orang yang sangat egois dalam bermimpi,
kurang bahkan tidak memiliki kepekaan nurani. Mereka tidak peduli dengan
hak-hak dan mimpi-mimpi yang dipunyai orang lain. Biasanya, mereka
berkata: “Nanti, kalau saya sudah sukses, saya akan melakukan ini, itu,
ini, itu…” Dalam artian, mereka baru akan mengerjakan hal yang
bermanfaat setelah mereka berhasil memenuhi obsesi-obsesinya. Mereka
tidak mengerti, ketika kelak mereka menemui kemandegan dalam berbuat
atau kejatuhan dalam pencapaian yang tinggi, mereka akan terduduk dalam
posisi yang amat terpuruk. Karena hakikat kesuksesan yang ada dalam
benak mereka hanya sebatas tercapainya mimpi dan kepentingan pribadi.
Lain
halnya dengan orang yang bermimpi dengan menyertakan orientasi
kemanfaatan untuk orang lain. Tercapai, tertunda, atau tidak tercapainya
sama sekali mimpi-mimpinya, mereka tetap enggan berhenti untuk berbuat
dan tidak ada kata istirahat. Seorang Umar yang perkasa berkata: “Kalau
saya tidur di siang hari, berarti saya mengabaikan hak-hak rakyat.”
Subhanallah,
adakah kita menemukan diri kita sekuat Umar? Atau mampukah kita seperti
Imam Ghazali, Buya Hamka, Pramoedya Ananta Noer yang tak redup aliran
ilmunya meski terkungkung dalam bui dan menjalani siksa yang
bertubi-tubi??
Sejenak sobat, marilah kita mengenali seperti
apakah figure pemimpi sejati itu. Mereka adalah panglima yang
memenangkan pertempuran atas nafsu dan kemalasan dan kelalaian. Sikapnya
selalu menjadi keteladanan. Seluruh hidupnya adalah pengabdian dan
pengabdiannya tulus tanpa harapan. Mereka yang jiwa-jiwanya kukuh meski
dirundung badai gagal. Mereka yang nuraninya peka terhadap kesulitan
saudaranya, lantas menolong, mencurahkan perhatian, memberikan kepastian
rencanaNya, menumbuhkan bibit semangat dan gemar mencarikan solusi
terbaik. Mereka yang fisiknya bebal oleh deras hujan, terik panas, dank
abut asap meski mengantarkannya pada kematian. Karena mereka meyakini
tak akan ada lagi kebajikan yang bisa dilakukan setelah kematian.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bertutur:”Jika
manusia tahu bahwa kematian menghentikannya dalam beraktivitas, maka ia
pasti akan melakukan perbuatan dalam hidupnya yang pahalanya terus
mengalir setelah mati.”
Oleh karena itu saudaraku, jangan
pernah lupa untuk bermimpi. Bermimpilah dengan cinta. Sematkanlah
orientasi kepedulian kita kepada mereka. Seiring mimpi yang terurai,
jangan lupa tautkan obsesi kemanfaatan. Karena “Sebaik-baik insan, adalah yang paling besar manfaatnya untuk orang lain” (Muttafaq ‘alaih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar