Setelah pertengkaran kita semalam, rasanya aku masih belum paham; pria
macam apa yang dulu bisa begitu kucintai. Aku tidak pernah melihat kamu
yang seperti ini. Kamu yang tang tak peduli, kamu yang mengucapkan janji
setengah hati, kamu yang selalu marah setiap kali kutanya siapa
wanita-wanita itu, kamu yang tak pernah mau jelaskan dan menjawab
pertanyaanku, dan kamu yang kali ini tidak lagi kukenali. Aku tidak tahu
siapa pria yang kali ini membalas pesan singkatku, pria yang begitu
mudah berkata putus, kemudian mengeluarkan makian dalam bahasa Jawa,
lalu menonaktifkan ponsel tanpa memberikan penjelasan apapun.
Kamu tahu, Sayang, aku sudah sesabar apa. Aku rela tidak menuntutmu ini
itu, karena pekerjaanmu yang segunung dan tak bisa sering-sering memberi
kabar untukku. Aku tidak memintamu selalu menghubungiku sepanjang
waktu, berusaha tak memarahimu ketika kamu lelah dengan pekerjaanku dan
melarikan semua amarahmu dengan cara menyakitiku. Aku setia jadi tempat
curahan hatimu, tempat kamu membentak seluruh isi dunia, tempat kamu
membenci hari-hari. Aku berusaha sekuat mungkin jadi dinding kokoh yang
kauludahi, kaucoret-coret, kaukotori tanpa aku memakimu balik. Apakah
kautak melihat kesabaran hati seorang perempuan dari semua sikapku yang
selalu menahan diri untuk tak menangis di depanmu?
Kamu tak lihat air mataku, tak lihat juga seberapa parah lukaku selama
ini. Aku tak pernah berusaha berteriak seperti kamu selalu meneriakiku,
tak ingin memaki dengan bahasa Jawa kasar, tak mau melukaimu seperti
kamu selalu melukaiku. Sebutkan padaku, Sayang, perempuan mana yang rela
berdarah-darah untukmu selain ibumu dan aku? Perempuan mana yang ada
bersamamu bahkan dalam sakit dan lemahmu jika bukan ibumu dan aku?
Apakah perempuan lain yang selalu kaudatangi dan kaucumbu itu bisa
bertahan denganmu bahkan dalam keadaan terburukmu? Apakah perempuan lain
yang selalu membuatku harus bersabar lebih banyak lagi ada perempuan
yang pantas kaudatangi?
Sayang, sadarlah, suatu saat nanti perempuan jalang yang kaucumbu
meskipun hanya lewat kata itu akan pergi, mengisap habis seluruh
kekuatan dan dayamu, pada akhirnya kamu akan terseok-seok berjalan ke
arahku. Namun, masa itu belum datang, Sayang. Saat ini, kamu hanya
melihatku sebagai perempuan ingusan yang bahkan belum lulus kuliah.
Perempuan egois, labil, cabe, emosi, tak tahu diri yang hanya ingin
dikabari sepanjang hari. Sayang, kamu melihatku hanya dari sisi yang
paling kaubenci. Kaubelum paham bahwa perempuan yang takut kehilangan
kamu adalah perempuan yang sangat mencintai kamu. Masa itu akan datang,
Sayang, saat aku tak lagi memedulikanku dan kamu bersungut-sungut
memintaku pulang.
Kali ini, biarkan hatiku teriris sendiri. Biarkan aku yang terluka
parah, biarkan aku yang menangis diam-diam sekarang. Tapi, lihatlah
nanti, Sayang. Suatu saat nanti, air mataku berubah jadi senyum tak
berkesudahan. Aku sebenarnya tahu apa yang harus kulakukan, pergi
meninggalkanmu, melupakanmu, dan menganggap semua tak pernah terjadi.
Namun, sekarang aku masih sabar untuk menghadapimu, aku masih ingin
memberimu kesempatan untuk yang ke beribu kali. Jika kesabaranku ini
masih ingin kamu sia-siakan, mungkin jalan terbaik memang harus pergi.
Karena kamu bukan lagi pria yang kukenal seperti dulu lagi, bukan pria
manis yang kucintai karena ketulusan dan keramahannya.
Kini, kamu adalah pria kasar yang tak segan-segan mengeluarkan kata
makian, hujatan, dan kata-kata lain yang menusukkan jarum-jarum kecil di
hatiku. Kamu berubah jadi pria lain, pria egois yang selalu ingin
dimengerti kesibukkannya, dan membiarkan aku menunggu sabar tanpa
melawan ataupun membuka suara. Aku tak tahu mengapa perjuanganku hanya
kauanggap angin lalu. Apa matamu tak terbuka untuk menyadari siapa
perempuan yang selama ini jatuh bangun hanya untuk mencintaimu?
Biarlah waktu yang membuatmu sadar, Sayang. Biarkan aku yang hanya
kauanggap angin lalu ini pergi pelan-pelan dari hidupmu. Beri aku
kesempatan untuk menghirup udara bebas dan tak lagi menangisi sikap
cuekmu selama ini.
Permintaanku tak banyak, aku hanya ingin kamu yang dulu kembali lagi ke
masa kini. Entahlah.... rasanya aku sangat ingin kamu yang dulu. Kamu
yang lugu, polos, dan selalu takut kehilangan kamu. Aku rindu kamu yang
dulu.
untuk yang selalu menganggapku adik
yang selalu percaya, cinta yang kurasa;
hanya bualan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar