PENGEMBANGAN ALAT EVALUASI NON TES
MAKALAH
Disusun
Oleh:
Dika Gumbira (2281142189)
Fajar Rizky Setiawan (2281142223)
Ismawati (2281142292)
Nurrul Hadya Zahra (2281142222)
JURUSAN
PENDIDIKAN IPA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
- BANTEN
2016
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami
ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengembangan Alat Evaluasi Non Tes. Tugas penulisan makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Evaluasi Proses dan Hasil Belajar. Terselesaikannya
makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan kami semata-mata, namun karena
adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait. Pada kesempatan ini
kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prasetyaningsih yang telah memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan baik dari isi maupun susunannya. Kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
makalah ini. Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amiin.
Serang, 02 Oktober 2016
Penyusun
ii
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
ii
DAFTAR
ISI .......................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah....................................................................... ...
1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................... ...
2
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................. ...
2
BAB
II ISI
A.
Pengertian Evaluasi
Non Tes.................................................................... 3
B.
Macam-Macam Evaluasi
Non Tes............................................................ 4
C. Pentingnya
Evaluasi Non Tes.................................................................. 27
BAB
III PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................................. 29
B. Saran........................................................................................................ 30
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 31
LAMPIRAN.......................................................................................................... 32
iii
|
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pengajaran merupakan upaya guru secara konkret
dilakukan untuk menyampaikan bahan kurikulum agar dapat diserap oleh murid.
Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai komponen berupa tujuan,
bahan, metode, dan alat serta penilaian. Dalam hubungan itu, tujuan menempati
posisi kunci. Bahan adalah isi pengajaran yang apabila dipelajari siswa
diharapkan tujuan akan tercapai. Metode dan alat berperan sebagai alat pembantu
untuk memudahkan guru dalam mengajar dan murid dalam belajar. Sedangkan
penilain dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana murid telah mengalami proses
pembelajaran yang ditujukan oleh perubahan perilakunya.
Hasil belajar dari proses belajar tidak
hanya dinilai oleh tes, tetapi juga harus dinilai oleh alat-alat non tes atau
bukan tes. Teknik ini berguna untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses
belajar-mengajar yang tidak dapat diukur dengan alat tes. Penggunaan teknik ini
dalam evaluasi pembelajaran terutama karena banyak aspek kemampuan siswa yang
sulit diukur secara kuantitatif dan mencakup objektifitas. Sasaran teknik ini
adalah perbuatan, ucapan, kegiatan, pengalaman,tingkah
laku, riwayat hidup, dan lain-lain. Penilaian non test adalah penilaian yang
mengukur kemampuan siswa-siswa secara langsung dengan tugas-tugas yang riil. Saat
ini penggunaan non tes untuk menilai hasil dan proses belajar masih sangat
terbatas jika dibandingkan dengan penggunaan alat melalui tes dalam menilai
hasil dan proses belajar.
1
|
2
|
Berdasarkan permasalahan-permasalahan
yang telah disebutkan diatas, maka diperlukan suatu langkah-langkah untuk
penyusunan dan pengembangan instrument non tes. Hal ini juga dapat digunakan
untuk memperoleh tes yang valid, sehingga hasil ukurnya dapat mencerminkan
secara tepat hasil belajar atau prestasi belajar yang dicapai oleh
masing-masing individu peserta tes setelah selesai mengikuti kegiatan
pembelajaran. Melalui makalah ini dibahas mengenai
pengembangan
evaluasi non tes.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, diperoleh
beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Apa pengertian evaluasi non tes?
2. Apa
saja macam-macam evaluasi non tes?
3. Apa
pentingnya evaluasi non tes?
C. Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah, diperoleh beberapa
tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Menjelaskan pengertian
evaluasi non tes.
2.
Menjelaskan macam-macam
evaluasi non tes.
3.
Menjelaskan pentingnya
evaluasi non tes.
BAB
II
ISI
A. Pengertian
Evaluasi Non Tes
Evaluasi atau penilaian
merupakan salah satu komponen sistem pengajaran. Pengembangan alat evaluasi
merupakan bagian integral dalam pengembangan sistem instruksional. Oleh sebab
itu fungsi evaluasi adalah untuk mengetahui apakah tujuan yang dirumuskan dapat
tercapai, evaluasi merupakan salah satu faktor penting dalam proses belajar
mengajar. Sebagai alat penilai hasil pencapaian tujuan dalam pengajaran,
evaluasi harus dilakukan secara terus menerus. Evaluasi itu lebih dari hanya
sekedar untuk menentukan angka keberhasilan belajar, tetapi manfaat evaluasi
sangat besar.[1]
Evaluasi merupakan
kegiatan yang paling umum dilakukan dan tindakan yang mengawali kegiatan
evaluasi dalam penilaian hasil belajar siswa. Pernyataan ini tidaklah harus
diartikan bahwa teknik tes adalah satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi
hasil belajar, sebab masih ada teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu
teknik nontes.
Teknik evaluasi non tes
berarti melaksanakan penilaian dengan tidak mengunakan tes. Teknik penilaian
ini umumnya untuk menilai kepribadian peserta didik secara menyeluruh meliputi sikap,
tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain. Yang
berhubungan dengan kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara individu
maupun secara kelompok.
3
|
4
|
Kelebihan non tes dari
tes adalah sifatnya lebih komprehensif, artinya dapat digunakan untuk menilai
berbagai aspek dari individu sehingga tidak hanya untuk menilai aspek kognitif,
tetapi juga aspek afektif dan psikomotoris.
Penggunaan non tes untuk
menilai hasil dan proses belajar masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan
penggunaan tes dalam menilai hasil dan proses belajar. Para guru di sekolah
pada umumnya lebih banyak menggunakan tes daripada bukan tes mengingat alatnya
mudah dibuat, penggunaannya lebih praktis, dan yang dinilai terbatas pada aspek
kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh peserta didik setelah
menyelesaikan pengamalan belajarnya.[2]
B. Macam-macam Evaluasi Nontes
1.
Wawancara
Wawancara adalah suatu
cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya
jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak
diberi kesempatan sama sekali
5
|
Sebagai alat penilaian,
wawancara dapat digunakan untuk menilai hasil dan proses belajar. Kelebihan
wawancara ialah bisa kontak langsung dengan peserta didik sehingga dapat
mengungkapkan jawaban secara lebih bebas dan mendalam. Lebih dari itu, hubungan
dapat dibina lebih baik sehingga siswa bebas mengemukakan pendapatnya. Wawancara
bisa direkam sehinga jawaban peserta didik bisa dicatat secara lengkap. Melalui
wawancara, data bisa diperoleh dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif.
Pertanyaan yang tidak jelas dapat diulang dan dijelaskan lagi. Sebaliknya,
jawaban yang belum jelas bisa diminta lagi dengan lebih terarah dan lebih
bermakna asal tidak mempengaruhi atau
mengarahkan jawaban peserta didik.[4]
Tujuan dari wawancara
adalah :
a.
Untuk memperoleh informasi secara langsung guna menjelaskan suatu situasi
dan kondisi tertentu.
b.
Untuk melengkapi suatu penyelidikan ilmiah.
Ada dua jenis wawancara,
yaitu wawancara berstuktur dan wawancara bebas (tak berstruktur). Dalam
wawancara berstruktur kemungkinan jawaban telah disiapkan sehingga peserta
didik tinggal mengategorikannya kepada alternatif jawaban yang telah dibuat.
Keuntungannya ialah mudah diolah dan dianalisis untuk dibuat kesimpulan.
Sedangkan pada wawancara bebas, jawaban tidak perlu disiapkan sehingga peserta
didik bebas mengemukakan pendapatnya. Keuntungannya ialah informasi lebih padat
dan lengkap sekalipun kita harus bekerja keras dalam menganalisisnya sebab
jawabannya bisa beraneka ragam. Hasil atau jawaban peserta didik tidak bisa
ditafsirkan
6
|
Ada tiga aspek yang
harus diperhatikan dalam melaksanakan wawancara, yakni :
a.
Tahap awal pelaksanaan wawancara
b.
Penggunaan pertanyaan
c.
Pencatatan hasil wawancara
Tahap awal wawancara
bertujuan untuk mengondisikan situasi wawancara. Buatlah situasi yang
mengungkapkan suasana keakraban sehingga peserta didik tidak merasa takut, dan
ia terdorong untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas dan benar atau jujur.
Setelah kondisi awal
cukup baik, barulah diajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan tujuan
wawancara. Pertanyaan diajukan secara bertahap dan sistematis berdasarkan
rambu-rambu atau kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya. Apabila pertanyaan
dibuat secara berstruktur, pewawancara membacakan pertanyaan dan, kalau perlu
alternatif jawabannya. Peserta didik diminta mengemukakan pendapatnya, lalu
pendapat siswa diklasifikasikan ke dalam alternatif jawaban yang telah ada.
Bila wawancara tak berstruktur, baca atau ajukan pertanyaan, lalu peserta didik
diminta menjawab secara bebas.
Tahap terakhir adalah
mencatat hasil wawancara. Hasil wawancara sebaiknya dicatat saat itu juga
supaya tidak lupa. Mencatat hasil wawancara berstruktur cukup mudah sebab
tinggal memberikan tanda pada alternatif jawaban, misalnya melingkari salah
satu jawaban yang ada.
Sedangkan pada wawancara
terbuka kita perlu mencatat pokok-pokok isi jawaban peserta didik pada lembaran
tersendiri. Yang dicatat adalah jawaban apa adanya dari peserta didik, jangan
tafsiran pewawancara ditambah dan dikurangi.
Sebelum melaksanakan
wawancara perlu dirancang pedoman wawancara. Pedoman ini disusun dengan
menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a.
7
|
b.
Berdasarkan tujuan diatas tentukan aspek-aspek yang akan diungkap dari
wawancara tersebut. Aspek-aspek tersebut dijadikan dasar dalam menyusun materi
pertanyaan wawancara. Aspek yang diungkap diurutkan secara sistematis mulai
dari yang sederhana menuju yang kompleks dari yang khusus menuju yang umum,
atau dari yang mudah menuju yang sulit.
c.
Tentukan bentuk pertanyaan yang akan digunakan, yakni bentuk berstruktur
ataukah bentuk terbuka. Bisa saja kombinasi dari kedua bentuk tersebut.
Misalnya untuk beberapa aspek digunakan pertanyaan berstruktur, dan untuk
beberapa aspek lagi dibuat secara bebas.
d.
Buatlah pertanyaan wawancara sesuai dengan analisis butir (c) diatas, yakni
membuat pertanyaan yang berstuktur dan atau yang bebas.
e.
Ada baiknya apabila dibuat pula pedoman mengolah dan menafsirkan hasil
wawancara, baik pedoman untuk wawancara berstruktur maupun untuk wawancara
bebas.[6]
Dalam melaksanakan
wawancara perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
Hubungan baik antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai perlu
dipupuk dan dibina, sehingga akan tampak hubungan yang sehat dan harmonis.
b.
Dalam wawancara jangan terlalu kaku, tunjukkan sikap yang bebas, ramah,
terbuka, dan adaptasikan diri dengan responden.
c.
Perlakukan responden itu sebagai sesama manusia secara jujur.
d.
Hilangkan prasangka-prasangka yang kurang baik, sehingga
pertanyan-pertanyaan yang diajukan bersifat netral.
e.
8
|
Kuesioner juga sering
dikenal sebagai angket. Angket yaitu wawancara tertulis baik pertanyaan maupun
jawabannya.[8] Pada dasarnya kuesioner adalah sebuah
pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden). Dengan
kuesiner ini orang dapat mengetahui tentang keadaan / data diri, pengalaman,
pengetahuan sikap atau pendapatnya dan lain-lain.[9]
Kelebihan kuesioner dari
wawancara ialah sifatnya yang praktis, hemat waktu, tenaga, dan biaya.
Kelemahannya ialah jawaban sering tidak objektif, lebih-lebih bila pertanyaan
kurang tajam yang memungkinkan peserta didik berpura-pura. Seperti halnya
wawancara, kuesioner pun ada dua macam, yakni kuesioner langsung dan tidak
langsung. Kelebihan masing-masing kuesioner tersebut hampir sama dengan
wawancara.
Cara penyampaian
kuesioner ada yang langsung dibagikan kepada peserta didik, yang setelah diisi
lalu dikumpulkan lagi. Ada juga yang dikirim melalui pos. cara kedua belum
menjamin terkumpulnya kembali sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Oleh karena
itu, sebaiknya pengiriman kuesioner dibuat lebih dari yang diperlukan.
Alternatif jawaban yang
ada dalam kuesioner bisa juga ditransformasikan dalam bentuk simbol kuantitatif
agar menghasilkan data interval. Caranya ialah dengan jalan memberi skor
terhadap setiap jawaban berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya ditanyakan
tingkat pendidikan responden. Makin tinggi jenjang pendidikan yang dimilikinya,
makin besar skor yang diberikan.
Cara menyusun kuesioner
seperti pada tes prestasi belajar, sehingga berlaku langkah-langkah yang telah
dijelaskan di muka, yakni dimulai dengan
9
|
a.
Mulai dengan pengantar yang isinya permohonan mengisi kuesioner sambil
dijelaskan maksud dan tujuannya.
b.
Jelaskan petunjuk atau cara mengisinya supaya tidak salah. Kalau perlu,
diberikan contoh.
c.
Mulai dengan pertanyaan untuk mengungkapkan identitas responden. Dalam
identitas ini sebaiknya tidak diminta mengisi nama. Identitas dukup
mengungkapkan jenis kelamin, usia, kelas, dan lain-lain yang ada kaitannya
dengan tujuan kuesioner.
d.
Isi pertanyaan sebaiknya dibuat beberapa kategori atau bagian sesuai dengan
variabel yang diungkapkan sehingga mudah mengolahnya.
e.
Rumusan pertanyaan dibuat singkat, tetapi jelas sehingga tidak
membingungkan dan salah mengakibatkan penafsiran.
f.
Hubungan antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan lain harus dijaga
sehingga tampak logikanya dalam satu rangkaian yang sistematis. Hindari
penggolongan pertanyaan terhadap indikator atau persoalan yang sama.
g.
Usahakan kemungkinan agar jawaban, kalimat, atau rumusannya tidak lebih
panjang daripada pertanyaan.
h.
Kuesioner yang terlalu banyak atau terlalu panjang akan melelahkan dan membosankan
responden sehingga pengisiannya tidak objektif lagi.
i.
Ada baiknya kuesioner diakhiri dengan tanda tangan si pengisi untuk
menjamin keabsahan jawabannya.[10]
Untuk melihat validitas
jawaban kuesioner, ada baiknya kepada beberapa responden secara acak dilakukan
wawancara dengan pertanyaan yang identik dengan isi kuesioner yang telah
diisinya.
Tujuan penggunaan
kuesioner dalam kegiatan pengajaran adalah sebagai berikut :
a.
10
|
b.
Untuk memperoleh data mengenai hasil belajar yang dicapainya dan proses
belajar yang ditempuhnya.
c.
Untuk memperoleh data sebagai bahan dalam menyusun kurikulum dan program
belajar-mengajar.
Kuesioner untuk tujuan
yang pertama (latar belakang peserta didik) dapat dibuat dalam bentuk
pertanyaan terbuka ataupun yang berstruktur mengungkapkan antara lain :
1)
Identitas siswa seperti jenis kelamin, usia, agama, keadaan fisik, hobi
atau kegemaran, dan mata pelajaran yang disenangi.
2)
Latar belakang keluarganya seperti pekerjaan orang tua, pendidikan orang
tua, anak keberapa, dan fasilitas keluarga dirumah.
3)
Latar belakang lingkungan peserta didik seperti alamat tempat tinggal,
suasana religius, aktivitas dalam organisasi kemasyarakatan, pemanfaatan waktu
renggang, dan kelompok bermain.
Kuesioner untuk tujuan
kedua, yakni hasil dan proses belajar, mengungkapkan beberapa aspek seperti
hasil belajar yang dicapainya. Kesulitan belajar, cara belajar, fasilitas
belajar, bimbingan yang diperlukan, motivasi dan minat belajar, sikap terhadap
proses mengajar, dan sikap terhadap guru.
Kuesioner untuk tujuan
ketiga, yakni untuk keperluan kurikulum dan program pengajaran, mengungkapkan
aspek yang berkenaan dengan bahasan, relevansi dan kegunaan bahan pelajaran,
cara menyajikan bahan, tingkat kesulitan bahan, cara guru mengajar,
kesinambungan bahan pelajaran, sistem penilaian atau ujian, buku pelajaran,
alat peraga, laboratorium atau praktikum, kegiatan ekstrakurikuler, lama
belajar, dan kegiatan peserta didik.[11]
Kuesioner yang hanya
menuntut jawaban “ya” dan “tidak” disebut inventori. Kuesioner seperti ini
kurang dapat mengungkapkan pendapat siswa
11
|
3.
Skala
Skala adalah alat untuk mengukur nilai,
minat dan perhatian yang disusun dalam bentuk pertanyaan untuk dinilai oleh
responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang
ditentukan. Dalam uraian ini hanya akan dijelaskan skala penilaian (rating
scale) dan skala sikap.[12] Skala biasanya dilakukan untuk melakukan
penilaian terhadap sikap atau penilaian kualitatif dengan menggunakan bentuk
skala (kuantitatif).[13]
a.
Skala Penilaian
Skala penilaian mengukur penampilan atau
perilaku orang lain oleh seseorang melalui pernyataan perilaku individu pada
suatu titik kontinu atau suatu kategori yang bermakna nilai. Titik atau
kategori diberi nilai rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Rentangan ini bisa dalam bentuk huruf (A, B, C, D), angka (4, 3, 2, 1) atau 10,
9, 8, 7, 6,5. Sedangkan rentangan kategori bisa tinggi, sedang, rendah, atau
baik, sedang, kurang.
Hal yang penting diperhatikan dalam skala
penilaian adalah kriteria skala nilai, yakni penjelasan operasional untuk
setiap alternatif jawaban (A, B, C, D). Adanya kriteria yang jelas untuk setiap
alternatif jawaban akan mempermudah pemberian penilaian dan terhindar dari
subyektivitas penilaian. Tugas penilai hanya memberi tanda cek (V) dalam kolom
rentangan nilai.
Skala nilai di atas bisa juga menggunakan
kategori baik, sedang dan kurang atau dengan angka 4, 3, 2, 1 bergantung pada
keinginan penilai. Skala penilaian dapat menghasilkan data interval tersebut.
Dalam contoh diatas skor
12
|
Dalam skala kategori, penilai bisa membuat
rentangan yang lebih rinci misalnya baik sekali, baik, sedang, kurang, dan
kurang sekali. Ada satu model skala penilaian lain, yaitu skala penilaian
komparatif. Alam skala ini penilai diminta melakukan penilaian dengan cara
membandingkan subyek yang dinilai dengan posisi orang laian yang sejenis
sebagai ukuran bandingan.
Skala penilaian lebih tepat digunakan
untuk mengukur suatu proses, misalnya proses mengajar pada guru, proses belajar
pada peserta didik, atau hasil belajar dalam bentuk perilaku seperti
keterampilan, hubungan sosial peserta didik, dan cara memecahkan masalah.
Seperti halnya instrumen yang lain,
penyusunan skala penilaian hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)
Tentukan tujuan yang akan dicapai dari skala penilaian ini sehingga jelas
apa yang sehuarusnya dinilai.
2)
Berdasarkan tujuan tersebut, tentukan aspek atau variabel yang akan
diungkap melalui instrumen ini.
3)
Tetapkan bentuk rentangan nilai yang akan digunakan, misalnya nilai angka
atau kategori.
4)
Buatlah item-item pertanyaan yang akan dinilai dalam kalimat yang singkat
tetapi bermakna secara logis dan sistematis.
5)
Ada baiknya menetapkan pedoman mengolah dan menafsirkan hasil yang diperoleh
dari penilaian ini.
Skala penilaian dalam pelaksanaannya dapat
digunakan oleh dua orang penilai atau lebih dalam menilai subjek yang sama.
Maksudnya agar diperoleh hasil penilaian yang obyektif mengenai perilaku subyek
yang dinilai.
Skala yang penilaiannya tidak dibuat dalam
bentuk rentangan nilai tetapi hanya mendiskripsikan apa adanya, disebut daftar
checklist. Dalam daftar cek jawaban dikategorikan misalnya ada, tidak ada, atau
dilakukan, tidak dilakukan, dan di kata-kata lain yang sejenis. Hal-hal lainnya
sama dengan
13
|
b.
Skala Sikap
Sikap merupakan digunakan untuk mengukur
sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni
mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya
adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan
reaksi seseorang terhadap suatu stimulus yang datang kepada dirinya.
Ada tiga kompenen sikap, yakni kognisi,
afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan
dengan pengetahuan seseorang tentang objek atau stimulus yang dihadapinya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam
menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi
berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tersebut. Oleh karana
itu, sikap selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu, misalnya
sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, sikap mahasiswa terhadap
pendidikan politik, atau sikap guru terhadap profesinya.
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau
ditolaknya, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh karena itu, pernyataan yang
diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan
negatif.
Salah satu skala sikap yang sering
digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang
diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subyek dengan
sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju.
Skor yang diberikan terhadap pilihan tersebut bergantung pada penilai asal
penggunaannya konsisten. Yang jelas, skor untuk pernyataan positif dan
pernyataan negatif adalah kebalikannya seperti tampak dalam contoh.
14
|
Pernyataan sikap
|
Sangat
setuju
|
Setuju
|
Tidak punya pendapat
|
Tidak setuju
|
Sangat tidak setuju
|
Pernyataan positif
|
2
5
|
1
4
|
0
3
|
1
2
|
2
1
|
Pernyataan negatif
|
2
1
|
1
2
|
0
3
|
1
4
|
2
5
|
Pernyataan sikap,
disamping kategori positif dan negatif, harus pula mencerminkan dimensi sikap,
yakni kognisi, afeksi dan konasi. Berikut ini adalah contoh pernyataan sikap.
1)
Saya senang membaca tulisan yang berkenaan dengan bidang studi aqidah
akhlak (+, afeksi).
2)
Saya merasa sulit menyisihkan waktu untuk belajar lebih lama (-, afeksi).
3)
Saya berpendapat bahwa bidang studi aqidah akhlak sangat menyenangkan (+,
kognisi).
4)
Saya sering minta pendapat dari teman dikelas mengenai kekurangan bidang
studi aqidah akhlak saya (+, konasi)
5)
Saya merasa telah cukup menguasai bidang studi aqidah akhlak (-,afeksi).
Beberapa petunjuk untuk menyusun skala Likert:
1)
Memilih variabel afektif yang akan diukur.
2)
Membuat beberapa pernyataan tentang variabel afektif yang akan diukur.
3)
Mengklasifikasikan pernyataan positif dan negatif.
4)
15
|
5)
Menyusun pernyataan dan pilihan jawaban menjadi sebuah alat penilaian.
6)
Melakukan uji coba.
7)
Membuang butir-butir pernyataan yang kurang baik.
Contoh : Sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran aqidah akhlak Petunjuk :
1)
Pengisian skala ini tidak ada hubungannya dengan prestasi belajar. Anda
tidak perlu mencantumkan nama dan nomor absen.
2)
Pilihlah salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai dengan cara
memberikan tanda cek (√) pada kolom yang telah disediakan. Keterangan :
SS : Sangat Setuju
S : Setuju
TT : Tidak Tahu
TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju.[16]
16
|
No.
|
Pernyataan
|
SS
|
S
|
TT
|
TS
|
STS
|
|
1.
|
Saya mempersiapkan diri untuk menerima pelajaran
aqidah akhlak di kelas
|
||||||
2.
|
Saya berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran aqidah akhlak.
|
||||||
3.
|
Saya suka melakukan perbuatan baik setiap hari
|
||||||
4.
|
Saya tertarik artikel yang berhubungan dengan aqidah
akhlak
|
||||||
5.
|
Saya
memperkaya materi dari guur dan membaca buku-buku agama sebagai penunjang
|
||||||
6.
|
Saya senang mengulang pelajaran aqidah akhlak
dirumah.
|
||||||
7.
|
Dst
|
||||||
4.
Observasi
Observasi adalah pengamatan kegiatan
seperti dalam diskusi, kerja kelompok, eksperimen, dan sebagainya.[17] Observasi juga bisa diartikan suatu
teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta
pencatatan secara sistematis.[18]
Sebenarnya observasi merupakan suatu
proses yang alami, dimana kita semua sering melakukannya, baik secara sadar
maupun tidak sadar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kelas, guru sering
melihat, mengamati, dan melakukan interprestasi. Dalam kehidupan sehari-haripun
kita sering
17
|
Hal yang harus dipahami oleh anda adalah
bahwa tidak semua apa yang dilihat disebut observasi. Dengan kata lain,
observasi yang dilakukan oleh guru di kelas tidak cukup dengan hanya duduk dan
melihat melainkan harus dilakukan secara sistematis, sesuai dengan aspek-aspek
tertentu, dan berdasarkan tujuan yang jelas. Untuk memperoleh hasil observasi
yang baik, maka kemampuan anda dalam melakukan pengamatan harus sering dilatih,
mulai dari hal-hal yang sederhana sampai dengan hal-hal yamg kompleks.
Observasi merupakan salah satu alat
evaluasi jenis nontes yang dilakukan dengan jalan pengamatan dan pencatatan
secara sistematis, logis, objektif dan rasional mengenai berbagai fenomena,
baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan
tertentu. Observasi tidak hanya digunakan dalam kegiatan evaluasi, tetapi juga
dalam bidang penelitian, terutama penelitian kualitatif (qualitative research).
Tujuan utama observasi adalah :
a.
Untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu fenomena, baik yang
berupa peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi sesungguhnya maupun dalam
situasi buatan.
b.
Untuk megukur perilaku kelas, interaksi antara peserta didik dan guru, dan
faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama kecakapan sosial (social skills).
Dalam evaluasi, observasi dapat digunakan
untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik, seperti tingkah laku
peserta didik pada waktu belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan lain-lain.
Dalam melakukan evaluasi kita harus memahami tentang :
a.
Konsep dasar observasi, mulai dari pengertian, tujuan, fungsi, peranan,
karakteristik, prinsip-prinsip sampai dengan prosedur observasi.
b.
18
|
c.
Prosedur observasi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan
penafisran sampai dengan pelaporan hasil observasi.
Observasi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :
a.
Mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan
observasi tidak menyimpang dari permasalahan.
b.
Bersifat ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis, kritis, objektif
dan rasional.
c.
Terdapat berbagai aspek-aspek yang akan diobservasi.
d.
Praktis penggunaannya.
Terdapat enam ciri-ciri dalam observasi :
a.
Observasi mempunyai arah yang khusus, bukan secara tidak teratur melihat
sekeliling untuk mencari kesan-kesan umum.
b.
Observasi ilmiah tentang tingkah laku adalah sistematis, bukan secara
sesuka hati dan untung-untungan mendekati situasi.
c.
Observasi bersifat kuantitatif, mencatat jumlah peristiwa tentang tipe-tipe
tingka laku tertentu.
d.
Observasi mengadakan pencatatan dengan segera, pencatatan-pencatatan
dilakukan secepat-cepatnya, bukan menyandarkan diri pada ingatan.
e.
Observasi meminta keahlihan, dilakukan oleh seseorang yang memang telah
terlatih untuk melakukannya.
f.
Hasil-hasil observasi dapat dicek dan dibuktikan untuk menjamin keadaan dan
kesahihan.
Ciri-ciri observasi diatas mempunyai
kelemahan yang pertama, dalam
penyelidikan yang bersifat eksploitatif, justru yang bersifat kuantitatif
kebanyakan dikesampingkan, kedua,
dalam observasi partisipan tidak dapat dilakukan pencatatan dengan segera. Oleh
sebab itu, observasi harus dilakuakn dengan hati-hati dan terencana.
19
|
a.
Observasi berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer telah
ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan kerangka kerja yang berisi faktorfaktor
yang telah diatur kategorinya. Isi dan luas materi observasi telah ditetapkan
dan dibatasi dengan jelas dan tegas.
b.
Observasi tak berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer tidak
dibatasi oleh suatu kerangka kerja yang pasti. Kegiatan observer hanya dibatasi
oleh tujuan observasi itu sendiri.
Sedangkan bila dilihat dari teknik
pelaksanaannya, observasi dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu :
a.
Observasi langsung, yaitu observasi yang dilakukan secara langsung terhadap
objrk yang diselidiki.
b.
Observasi tak langsung, yaitu observasi yang dilakukan melalui perantara,
baik teknik maupun alat tertentu.
c.
Observasi partisipasi, yaitu observasi yang dilakukan dengan cara ikut
ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti.
Dengan demikian, hasil pengamatan akan
lebih berarti, lebih obyektif, sebab dapat dilaporkan sebagaimana adanya
seperti pada diri pengamat. Kelemahan yang sering terjadi di dalam observasi
ada pada pengamat itu sendiri. Misalnya
kurang cermat, kurang berkonsentrasi, lekas bosan sehingga hassil pengamatannya
lebih banyak dipengaruhi pendapatnya, bukan oleh perilaku yang ditunjukkan oleh
obyek yang diamatinya. Cara mengatasinya ialah dengan melakukan observasi oleh
dua orang atau lebih secara terpisah terhadap satu individu yang diamati.
Hasilnya dibandingkan dan dicocokkan untuk menentukan hasil akhir pengamatan
dari semua pengamat.
Untuk menyusun pedoman observasi,
sebaiknya mengikuti langkahlangkah sebagai berikut :
a.
Merumuskan tujuan observasi
b.
Membuat lay out atau kisi-kisi
observasi
c.
Menyusun pedoman observasi
d.
20
|
e.
Melakukan uji-coba pedoman observasi untuk melihat kelemahankelemahan
pedoman observasi.
f.
Merevisi pedoman observasi berdasarkan hasil uji coba
g.
Melaksanakan observasi pada saat kegiatan berlangsung.
Berhasil tidaknya observasi sebagai alat
penilaian bergantung pada pengamat, bukan pada pedoman observasi. Oleh karena
itu, memilih pengamat yang cakap, mampu, dan menguasai segi-segi yang diamati
sangat diperlukan.
Observasi untuk menilai proses belajar
mengajar dapat dilaksanakan oleh guru dikelas pada saat peserta didik melakukan
kegiatan belajar. Untuk itu guru tidak perlu terlalu formal memperhatikan
siswa, tetapi ia mencatat secara teratur gejala dan perilaku yang ditunjukkan
oleh setiap peserta didik. Misalnya hubungan sosial peserta didik dalam
diskusi. Partisipasi peserta didik dalam memecahkan masalah. Dan tanggung jawab
dalam mengerjakan tugas. Lebih dari itu guru dapat pula mengamati hasil belajar
peserta didik, setelah peserta didik selesai mengerjakan tugas-tugas belajarnya
seperti ketelitian, kesungguhan, ketepatan jawaban, dan tulisan atau bahasa.
Dengan demikian, observasi sangat dimungkinkan penggunaannya oleh guru, baik
dalam menilai proses belajar mengajar maupun dalam menilai hasil belajar peserta
didik. Observasi juga lebih praktis dibandingkan dengan alat penilaian bukan
tes lainnya.[20]
5.
21
|
Studi kasus pada
dasarnya mempelajari secara intensif seorang individu yang dipandang mengalami
suatu kasus tertentu. Misalnya mempelajari secara khusus anak nakal, anak yang
tidak bisa bergaul dengan orang lain, anak yang selalu gagal belajar, atau anak
pandai, anak yang paling pandai disukai teman-temannya. Kasus-kasus tersebut
(pilih salah satu yang paling diperlukan) dipelajarinya secara mendalam dan
dalam kurun waktu yang cukup lama. Mendalam artinya mengungkapkan semua
variabel yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut dari berbagai aspek yang
mempengaruhi dirinya. Tekanan utama dalam studi kasus adalah mengapa individu
melakukan apa yang dilakukannya dan
bagaimana tingkah lakunya dalam kondisi dan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Untuk mengungkapkan
persoalan tersebut, perlu dicari data yang berkenaan dengan pengamalan individu
tersebut pada masa lalu, sekarang, lingkungan yang membentuknya, dan kaitan
variabel-variabel yang berkenaan dengan kasusnya. Data diperoleh dari berbagai
sumber seperti aorang tuanya, teman dekatnya, guru, bahkan juga dari dirinya.
Teknik memperoleh data sangat komprehensif, misalnya dengan observasi
perilakunya, wawancara, analisis dokumenter, atau tes, bergantung pada kasus
yang dipelajari. Setiap data dicatat secara cermat, kemudian dikaji,
dihubungkan satu sama lain, kalau perlu dibahas dengan yang lain sebelum
menarik kesimpulankesimpulan penyebab terjadinya kasus atau persoalan yang
ditunjukkan oleh individu tersebut. Studi kasus mengisyaratkan pada penilaian
kualitatif.
Kelebihan studi kasus
dari studi lainnya adalah bahwa subyek dapat dipelajari secara mendalam dan
menyeluruh. Namun, kelemahannya sesuai dengan sifat studi kasus bahwa informasi
yang diperoleh sifatnya subjektif, artinya hanya untuk individu yang
bersangkutan, dan belum tentu dapat digunakan untuk kasus yang sama pada
individu yang lain. Dengan kata lain, generalisasi informasi sangat terbatas
penggunaannya. Hasil studi kasus dapat menghasilkan hipotesis yang dapat diuji
lebih lanjut. Banyak teori, konsep,
22
|
Beberapa petunjuk untuk
melaksanakan studi kasus dalam bidang pendidikan, khususnya di sekolah :
a.
Menemukenali peserta didik sebagai kasus, artinya menetapkan siapasiapa di
antara peserta didik yang mempunyai masalah khusus untuk dijadikan kasus.
b.
Menetapkan jenis masalah yang dihadapi siswa dan perlu mendapatkan bantuan
pemecahan oleh guru. Dalam langkah ini guru sebaiknya mewawancarai siswa untuk
menentukan jenis masalah yang dihadapi peserta didik tersebut.
c.
Mencari bukti-bukti lain untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah yang
dihadapi peserta didik tersebut melalui analisis hasil belajar yang dicapainya,
mengamati perilakunya, bertanya kepada teman sekelasnya, kalau perlu meminta
penjelasan dari orang tuanya.
d.
Mencari sebab-sebab timbulnya masalah dari berbagai aspek yang berkenaan
dengan kehidupan peserta didik itu sendiri.
e.
Menganalisis sebab-sebab tersebut dan menghubungkannya dengan tingkah laku
peserta didik agar diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai latar
belakang peserta didik.
f.
Dengan informasi yang telah lengkap tentang faktor penyebab tersebut, guru
dapat menentukan sejumlah alternatif pemecahanya. Setiap informasi dikaji lebih
lanjut untuk menetapkan alternatif mana yang paling baik untuk dapat mangatasi
masalah peserta didik.
g.
23
|
h.
Terus mengadakan pengamatan dan pemantauan terhadap tingkah laku peserta
didik tersebut untuk melihat perubahan-perubahannya. Jika belum menunjukkan
perubahan, perlakuan guru harus lebih ditingkatkan lagi dengan menggunakan
alternatif lain yang telah ditemukenali sebelumnya.
Langkah di atas adalah
sekadar gambaran umum yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis kasus
yang dihadapi dan kondisi lingkungan yang menyebabkan terjadinya kasus
tersebut.
Studi lain yang hampir
sama adalah studi perkembangan. Studi perkembangan mempelajari karakteristik
individu dan bagaimana karakteristik itu berubah dalam pertumbuhannya.
Karakteristik individu mencakup segi-segi intelektual, emosional, sosial dan
kepribadian individu. Studi ini dapat dilakukan kepada sekelompok individu pada
usia tertentu, atau dapat juga dilakukan terhadap seorang individu.
Perbedaannya dengan studi kasus ialah studi perkembangan seorang individu
dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, kelemahan utama
studi ini adalah waktunya yang terlalu lama sehingga menuntut biaya, tenaga dan
sumbersumber lain yang cukup banyak. Ada dua teknik yang biasa digunakan dan
saling melengkapi dalam studi perkembangan, yakni (a) studi longitudinal dan
(b) studi cross-sectional.
Studi longitudinal atau
metode jangka panjang dalam pelaksanaannya menggunakan sampel yang sama untuk
jangka waktu yang panjang. Misalnya peneliti mempelajari keterampilan berbahasa
siswa kelas satu MI, dan keterampilan tersebut diukur setiap tahun di
kelas-kelas berikutnya untuk melihat perkembangannya pada peserta didik
tersebut. Dengan studi tersebut dapat dilihat perubahan dan perkembangan
kererampilan dalam jangka waktu tertentu untuk kelompok atau kelas tersebut.
Dalam studi ini sampelnya dalah semua subjek di kelas tersebut, dan karena itu
memungkinkan dapat
24
|
Kelemahan studi ini
adalah menuntut biaya, tenaga, dan sumber-sumber yang cukup besar sebab
dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama. Demikian pula mempelajari
perkembangan individu cukup sulit sebab dalam pertumbuhan dan perkembangannya
individu berinteraksi dengan lingkungannya sehingga banyak faktor yang
berpengaruh terhadap gejala yang sedang dipelajari.
Metode cross sectional dilaksanakan dalam waktu
yang pendek sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada
metode longitudinal. Metode ini mempelajari semua individu yang berbeda taraf
umurnya dalam titik waktu yang sama. Dalam contoh diatas keterampilan berbahasa
tulisan dipelajari pada peserta didik sebagai sampel dari beberapa kelas yang
berbeda, dan pada titik dan kurun waktu tertentu diukur keterampilannya.
Kemudian hasil pengukuran dibandingkan untuk setiap kelas yang berbeda taraf
umurnya. Perbedaan sampel-sampel tersebut merupakan dasar dalam menarik
kesimpulan tentang pertumbuhan anak dalam hal keterampilan berbahasa tulisan.
Kelemahan metode ini adalah faktor kebetulan sebab bisa terjadi sampel dalam
studi ini sangat bervariasi pertumbuhannya. Demikian juga adanya pengaruh dari
variabel ekstra tidak dapat dihindari. Metode ini tepat digunakan apabila ingin
mempelajari karakteristik peserta didik pada umumnya pada taraf yang
berbeda-beda dan memungkinkan dapat diperoleh sampel yang cukup besar. Metode
ini juga dapat membandingkan karakteristik tertentu saat ini dari subjek atau
peserta didik pada kelas yang berbeda tingkatannya, misalnya kelas IV dengan kelas
V MI. Namun, apabila ingin melihat perubahan karakteristik tertentu dari
25
|
Beberapa kasus yang
sering terjadi pada peserta didik di sekolah antara lain ialah :
a.
Kegagalan belajar yang dapat dilihat dari prestasi yang dicapainya, baik
dalam mata pelajaran tertentu maupun untuk semua mata pelajaran yang diberikan
disekolah.
b.
Ketidakmampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sekolah yang
dapat dilihat dari perilaku peserta didik seperti mengisolasi dirinya, tidak
bisa bergaul dengan teman-temannya, atau tidak berpartisipasi dalam
melaksanakan tugas belajar dalam kelompoknya.
c.
Gangguan emosional yang berlebihan seperti cepat marah, muda tersinggung,
menangis
d.
Kenakalan yang sifatnya menyimpang dari nilai sosial, moral, hukum seperti
suka mencuri barang milik teman-temannya, suka mengganggu orang lain, berbuat
onar di sekolah, suka membolos, mabuk-mabukan
e.
Terlibat dalam tindakan kriminal seperti pencurian, perkelahian.
Bentuk kasus-kasus
diatas, dan mungkin masih banyak lagi, bersumber dari tiga faktor utama, yakni
faktor dari dirinya, faktor keluarga, faktor lingkungan. Dari faktor dirinya
berkenaan dengan dorongan atau nalurinya, ketidakpuasan, kompensasi, sublimasi
yang dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan untuk menarik perhatian orang
lain. Dari faktor keluarga pada umumnya karena kurang perhatian dari orang
tuanya yang berkenaan dengan tidak terpenuhinya tuntutan kebutuhannya, seperti
kasih sayang, keamanan, fasilitas belajar, uang jajan, dll. Sedangkan dari
lingkungan terutama akibat pergaulan dengan teman-temannya, lingkungan tempat
tinggal, pengaruh kelompoknya, dan lain-lain.
Penanganan kasus
tersebut hendaknya dilakukan oleh guru bekerja sama denagn orang tuanya. Dalam
hal ini peranan wali kelas, guru pembimbing, guru bidang studi sangat
diperlukan. Perhatian terhadap siswa yang menjadi kasus harus ditingkatkan
melalui berbagai cara, satu diantaranya
26
|
Efek peserta didik yang
mengalami kasus sangat merugikan, baik bagi siswa yang bersangkutan maupun bagi
netertiban dan tegaknya disiplin sekolah disamping citra sekolah di masyarakat.
Bahkan bisa ditafsirkan bahwa makin banyaknya kasus di sekolah menunjukkan
kelemahan atau kegagalan sekolah dalam melaksanakan pendidikan.[21]
6.
Sosiometri
Sosiometri adalah suatu prosedur, untuk
merangkum, menyusun, dan sampai batas tertentu dapat mengkuantifikasi
pendapat-pendapat peserta didik tentang penerimaan teman sebayannya serta
hubungan di antara mereka. Misalnya, di madrasah banyak peserta didik kurang
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia nampak murung, mengasingkan
diri, mudah tersinggung atau bahkan over
acting. Hal ini dapat dilihat ketika mereka sedang istirahat, bermain atau
mengerjakan tugas kelompok. Fenomena tersebut menunjukkan adanya
kekurangmampuan peserta didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kondisi seperti ini perlu diketahui dan dipelajari oleh guru dan dicarikan
upaya untuk memperbaikinya, karena dapat mengganggu proses belajarnya.
Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan
sosial peserta didik adalah sosiometri. Terdapat beberapa langkah dalam
menggunakan sosiometri, yaitu:
7.
Memberikan “petunjuk” atau pertanyaan-pertanyaan, seperti :”tuliskan pada
selembar kertas nama teman-temanmu yang paling baik di dalam kelas ? “, atau”
siapa diantara temanmu yang sering meminjamkan buku pelajaran kepada teman-teman
yang lain”, dan sebagainya.
8.
Mengumpulkan jawaban yang sejujurnya dari semua peserta didik.
9.
27
|
Dengan demikian, hasil dari sosiometri
dapat dijadikan bahan bagi guru dalam mempelajari para peserta didiknya. Dengan
kata lain sosiometri dapat digunakan sebagai salah satu alat dalam menemukan
kasus-kasus peserta didik di sekolah dilihat dari hubungan sosialnya, dan
dijadikan alat untuk melengkapi data mengenai perkembangan peserta didik.[23]
C.
Pentingnya Evaluasi Non Tes
Teknik
non tes merupakan teknik
penilaian untuk memperoleh gambaran terutama mengenai karakteristik, sikap,
atau kepribadian. Selama
ini teknik non tes
kurang digunakan
dibandingkan teknis tes. Dalam
proses pembelajaran pada
umumnya kegiatan penilaian
mengutamakan teknik tes. Hal ini dikarenakan lebih berperannya aspek
pengetahuan dan keterampilan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan
guru pada saat
menentukan pencapaian hasil
belajar siswa. Seiring dengan berlakunya kurikulum
tingkat satuan pendidikan
(KTSP) yang didasarkan
pada standar kompetensi dan
kompetensi dasar maka teknik
penilaian harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Kompetensi yang diukur;
2.
Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan atau sikap);
3.
Kemampuan peserta didik yang akan diukur;
4.
Sarana dan prasarana yang ada.
Dengan kata lain, banyak proses dan hasil
belajar yang hanya dapat diukur dengan teknik non tes. Untuk itu, jika guru di sekolah
hanya menggunakan teknik tes, tentu hal ini dapat merugikan peserta didik dan
28
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teknik evaluasi non tes berarti
melaksanakan penilaian dengan tidak mengunakan tes. Teknik penilaian ini
umumnya untuk menilai kepribadian peserta didik secara menyeluruh meliputi
sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain
Macam-macam evaluasi nontes yaitu wawancara,
kuosioner, skala, observasi, studi kasus dan sosiometri.
Wawancara adalah suatu cara yang digunakan
untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya jawab sepihak.
Kuesioner juga sering dikenal sebagai
angket. Angket yaitu wawancara tertulis baik pertanyaan maupun jawabannya
Skala adalah alat untuk mengukur nilai,
minat dan perhatian yang disusun dalam bentuk pertanyaan untuk dinilai oleh
responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang
ditentukan. Skala terdiri dari skala penilaian dan skala sikap. Skala penilaian
mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui pernyataan
perilaku individu pada suatu titik kontinu atau suatu kategori yang bermakna
nilai. Skala Sikap merupakan digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap
objek tertentu.
Observasi adalah pengamatan kegiatan
seperti dalam diskusi, kerja kelompok, eksperimen, dan sebagainya
Studi kasus pada dasarnya mempelajari
secara intensif seorang individu yang dipandang mengalami suatu kasus tertentu.
Sosiometri adalah suatu prosedur, untuk
merangkum, menyusun, dan sampai batas tertentu dapat mengkuantifikasi
pendapat-pendapat peserta didik tentang penerimaan teman sebayannya serta
hubungan di antara mereka.
29
|
30
|
B.
Saran
Sebagai calon pendidik, jenis evaluasi non
tes sangat cocok dengan materi IPA karena mencakup semua aspek yang dinilai
yakni aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun dalam pelaksanaannya
perlu persiapan yang matang sehingga hasil belajar yang diukur mendapatkan
hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan
Agama Islam Pada Sekolah. Jakarta Pusat
Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan
Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara
H. Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
31
|
[1] Muhammad Ali, Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1996), cet Ke-9, h. 113.
[2] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 67.
[3] H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1999), cet Ke-1, h. 33.
[4] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h.
68.
[5] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 150.
[6] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 69.
[7] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah ,
(Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 151.
[8] Muhamma Ali, Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar. (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1999), cet Ke-9, h. 117
[9] H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1999), cet Ke-1, h. 30
[10] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 71.
[11] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 72.
[12] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 77.
[13] Muhamma Ali, Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar. (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1999), cet Ke-9, h. 117.
[14] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 79.
[15] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 152.
[16] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 153.
[17] Muhamma Ali, Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar. (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1999), cet Ke-9, h. 117.
[19] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 149
[20] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 94.
[21] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet.
Ke-17, h. 98.
[22] Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 167.
[23] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar