Di depanku hanya ada wajah-wajah lesu yang seharian mengais upah layak
di Jakarta. Mereka kembali ke tempat tinggal mereka untuk kembali
memeluk saudara dan keluarga. Aku duduk di samping ibu-ibu yang tertidur
kelelahan, sementara di depanku ada seorang pria yang sejak tadi
memperhatikan wajahku yang aneh. Inilah wajah orang yang sedang patah
hati; kosong dan tak bercahaya.
Aku sudah tiga kali berpindah kereta, dari Stasiun Pondok Cina, aku
berdiam diri hingga Stasiun Bogor. Dari Stasiun Bogor, aku berdiam diri
sampai Stasiun Jakarta Kota. Dari Stasiun Jakarta Kota tadi, sekarang
aku berusaha menyadarkan diri, waktu sudah pukul sebelas malam, dan
kalau harus berdiam diri hingga ke Stasiun Bogor lagi, sama saja
menyiksa diriku sendiri. Aku masih menunggu kereta ini agar sampai di
Stasiun UI, namun masih dengan pikiran yang kosong; aku kembali melamun.
Tadi siang, seusai kelas di kampus, aku langsung kembali mengurus meeting
penerbit di daerah Jakarta Selatan. Hari ini, tepat tanggal 20 April
2015, tepat hari jadi kita yang ketiga bulan. Aneh, ya, masih seumur
jagung saja dirayakan, tapi ini bagian dari janji kita bukan? Semua
berusaha kita rayakan sebagai peringatan bahwa hubungan kita cukup
mengandung keseriusan. Itulah yang aku kira selama ini. Kamu begitu
manis dan sempurna di mataku, itulah mengapa aku mengabaikan banyak pria
hanya demi memperjuangkanmu. Kamu tawarkan banyak hal yang aku
inginkan, perhatian, rasa cinta, rasa dihargai, dan rasa menyenangkan
dicemburui olehmu. Awalnya, semua sangat sempurna, meskipun satu bulan
kita terlewati karena kamu harus menyelesaikan sesuatu dengan temanmu,
dua bulan hari jadi kita juga batal karena aku sibuk menandatangani buku
pre order-ku. Harapanku sangat tinggi bahwa di hari jadi kita yang
ketiga bulan ini, kita bisa melakukan hal yang sama.
Siang itu, kamu janji untuk datang. Aku sudah duduk di sana, ditempat
yang kita janjikan dengan napas yang ngos-ngosan. Aku mengejar waktu,
tak ingin membuatmu menunggu. Di jemariku, ada dua tiket dan ada dua
popcorn serta soft drink. Aku yakin kamu akan datang. Film sudah
diputar, aku berkali-kali menatap bangku di sampingku, dengan keyakinan
penuh, aku selalu berkata, "Pasti datang. Dia pasti datang. Semenit lagi
pasti datang, lima menit lagi pasti datang, tiga puluh menit lagi pasti
datang, satu jam lagi pasti datang." Dan, bahkan sampai film usai, aku
menonoton sendirian.
Aku terdiam. Sekali lagi hanya bisa diam. Aku makan di tempat kesukaan
kita, duduk sendirian, kemudian menatap banyak pasangan kekasih yang
terlihat nampak bahagia. Rasa-rasanya aku ingin bertanya padamu, mengapa
kita tak pernah sebahagia mereka? Aku tak tahu apa yang mengubahmu jadi
seperti ini, mengubah sosokmu jadi pria yang tak lagi semanis dan
seelegan dulu. Kamu yang sekarang adalah kamu yang kasar, tidak peduli,
tidak perhatian, tidak pernah menghubungiku duluan, dan selalu
menganggap hubungan kita seperti permainan yang sesuka hati kaubisa
akhiri.
Aku makan sendirian, sesering yang aku bisa juga terus menatap ponsel.
Berharap kamu mengabariku dan ada secercah penyesalan yang kau titipkan
dalam chat-mu. Berjam-jam aku menunggu dan ternyata semua harapan itu
berakhir hanya menjadi harapan. Kamu tidak datang, menghilang, tanpa
kabar. Ini bukan yang pertama, aku tahu sebenarnya saat ini mungkin aku
tidak lagi penting bagimu. Mungkin, selam aini aku terlihat seperti
gadis pengganggu yang selalu ingin tahu kabarmu, tapi sadarkah kamu di
balik gadis bodoh ini tersimpan sosok perempuan yang tak ingin kamu
sakit? Sadarkah kamu bahwa dalam diriku yang mungkin tak pernah berarti
apapun bagimu ini ada seorang perempuan yang sedang menjaga cintanya
hanya untukmu satu-satunya? Sadarkah kamu bahwa dalam rumitnya sikapku,
tersembunyi seorang perempuan yang ingin kamu seperhatian dulu lagi.
Aku benar-benar kehilangan manisnya dirimu. Aku kehilangan kita yang
dulu. Aku tidak menangisi pelukmu yang tiba-tiba tak ada, aku tidak
meratapi kecupmu yang tak pernah lagi kau berikan, aku hanya menyesali
mengapa semua berubah jadi seperti ini ketika aku sedang
nyaman-nyamannya denganmu?
Aku masih terdiam di stasiun kereta dan betapa patah hati ini sungguh
membuatku tersiksa. Kamu menghilang dan tak ada kabar, tidak
mempedulikan aku yang menunggumu sejak siang tadi. Aku seperti terlempar
ke negeri asing, negeri penuh kesepian dan sakit hati, dan dalam negeri
itu-- aku tak menemukan sosokmu. Yang aku tahu, intinya kamu memang
tidak punya niat untuk bertemu, dan memang sudah saatnya aku tak perlu
lagi memaksakan perasaan dan cinta ini.
Selama ini kamu terus diam, sehingga aku merasa hubungan kita baik-baik
saja. Meskipun selama ini selalu, selalu, dan selalu aku yang terluka.
Aku masih menganggap ini baik-baik saja dan aku masih memperhatikanmu,
masih mencintaimu, masih mengagumimu seperti biasa; meskipun aku tahu
sepertinya hubungan kita yang aku perjuangan setengah mati ini akan
segera berakhir hanya dalam hitungan hari.
Aku hanya ingin berpesan, jangan pernah menyesal karena kamu
memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan menyumpahi, berdoa pada
Tuhan agar Dia mengutukmu, tapi satu hal yang kautahu; tak akan ada
cinta yang sama, tak ada perhatian sekuat yang aku punya, tak akan ada
perempuan yang mau merendahkan dirinya, hanya demi mencintai pria biasa.
Tak akan ada sosok yang mencintaimu dengan sangat sabar, kecuali aku.
Dan, saat kamu menyia-nyiakan itu semua, kamu akan tahu, betapa selama
ini kamu melakukan kebodohan nomor satu. Dalam hitungan hari, laki-laki
memang anti sakit hati, tapi liat nanti. Di bulan kedua, di bulan
ketiga, di bulan keempat, sesakmu justru akan lebih parah dari sesakku.
Di bulan-bulan penuh kesesakanmu itu, tentu aku sedang giat-giatnya
berbahagia karena novelku tentang sakit hati ditinggalkan olehmu telah
terbit dan saat itu tentu aku sedang sangat bahagia bersama pria yang
lebih baik darimu, tentunya dia berlian, bukan sampah sepertimu.
sumber : dwitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar