Kegagalan hari Ini berarti pendorong,
Namun kejayaan semalam bukan berarti kemegahan oleh karena itu gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit, dan rendahkanlah dirimu serendah rumput di bumi.

share yu...

PENGEMBANGAN ALAT EVALUASI NON TES


PENGEMBANGAN ALAT EVALUASI NON TES
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Evaluasi Proses dan Hasil Belajar dengan dosen Prasetyaningsih, M.Pd

 

Disusun Oleh:
Dika Gumbira                          (2281142189)
Fajar Rizky Setiawan              (2281142223)
Ismawati                                  (2281142292)
Nurrul Hadya Zahra                (2281142222)

JURUSAN PENDIDIKAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG - BANTEN
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengembangan Alat Evaluasi Non Tes.                                                  Tugas penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Evaluasi Proses dan Hasil Belajar.                                                                       Terselesaikannya makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan kami semata-mata, namun karena adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prasetyaningsih yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.                                                                                                                 Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari isi maupun susunannya. Kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini.                              Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amiin.
Serang, 02 Oktober 2016


Penyusun




ii
 


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah....................................................................... ... 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................... ... 2
C.     Tujuan Penulisan.................................................................................. ... 2
BAB II ISI
A.    Pengertian Evaluasi Non Tes.................................................................... 3
B.     Macam-Macam Evaluasi Non Tes............................................................ 4
C.     Pentingnya Evaluasi Non Tes.................................................................. 27
BAB III PENUTUP
A.    Simpulan.................................................................................................. 29
B.     Saran........................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 31
LAMPIRAN.......................................................................................................... 32






iii
 


BAB 1
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Pengajaran merupakan upaya guru secara konkret dilakukan untuk menyampaikan bahan kurikulum agar dapat diserap oleh murid. Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai komponen berupa tujuan, bahan, metode, dan alat serta penilaian. Dalam hubungan itu, tujuan menempati posisi kunci. Bahan adalah isi pengajaran yang apabila dipelajari siswa diharapkan tujuan akan tercapai. Metode dan alat berperan sebagai alat pembantu untuk memudahkan guru dalam mengajar dan murid dalam belajar. Sedangkan penilain dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana murid telah mengalami proses pembelajaran yang ditujukan oleh perubahan perilakunya.
Hasil belajar dari proses belajar tidak hanya dinilai oleh tes, tetapi juga harus dinilai oleh alat-alat non tes atau bukan tes. Teknik ini berguna untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses belajar-mengajar yang tidak dapat diukur dengan alat tes. Penggunaan teknik ini dalam evaluasi pembelajaran terutama karena banyak aspek kemampuan siswa yang sulit diukur secara kuantitatif dan mencakup objektifitas. Sasaran teknik ini adalah perbuatan, ucapan, kegiatan,  pengalaman,tingkah laku, riwayat hidup, dan lain-lain. Penilaian non test adalah penilaian yang mengukur kemampuan siswa-siswa secara langsung dengan tugas-tugas yang riil. Saat ini penggunaan non tes untuk menilai hasil dan proses belajar masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan penggunaan alat melalui tes dalam menilai hasil dan proses belajar.

1
Padahal ada aspek-aspek yang tidak bisa terukur secara “realtime” dengan hanya menggunakan tes, seperti pada mata pelajaran matematika. Pada tes siswa dapat menjawab dengan tepat saat diberi pertanyaan tentang langkah-langkah melukis sudut menggunakan jangka tanpa busur, tetapi waktu diminta melukis secara langsung di kertas atau papan tulis ternyata cara menggunakan jangka saja mereka tidak bisa. Jadi dengan menggunakan

2
non tes guru bisa menilai siswa secara komprehensif, bukan hanya dari aspek kognitif saja, tapi juga afektif dan psikomotornya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka diperlukan suatu langkah-langkah untuk penyusunan dan pengembangan instrument non tes. Hal ini juga dapat digunakan untuk memperoleh tes yang valid, sehingga hasil ukurnya dapat mencerminkan secara tepat hasil belajar atau prestasi belajar yang dicapai oleh masing-masing individu peserta tes setelah selesai mengikuti kegiatan pembelajaran. Melalui makalah ini dibahas mengenai pengembangan evaluasi non tes.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, diperoleh beberapa rumusan masalah yaitu:
1.    Apa pengertian evaluasi non tes?
2.    Apa saja macam-macam evaluasi non tes?
3.    Apa pentingnya  evaluasi non tes?

C.       Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah, diperoleh beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.         Menjelaskan pengertian evaluasi non tes.
2.         Menjelaskan macam-macam evaluasi non tes.
3.         Menjelaskan pentingnya evaluasi non tes.






BAB II
ISI
A.      Pengertian Evaluasi Non Tes
Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu komponen sistem pengajaran. Pengembangan alat evaluasi merupakan bagian integral dalam pengembangan sistem instruksional. Oleh sebab itu fungsi evaluasi adalah untuk mengetahui apakah tujuan yang dirumuskan dapat tercapai, evaluasi merupakan salah satu faktor penting dalam proses belajar mengajar. Sebagai alat penilai hasil pencapaian tujuan dalam pengajaran, evaluasi harus dilakukan secara terus menerus. Evaluasi itu lebih dari hanya sekedar untuk menentukan angka keberhasilan belajar, tetapi manfaat evaluasi sangat besar.[1]
Evaluasi merupakan kegiatan yang paling umum dilakukan dan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi dalam penilaian hasil belajar siswa. Pernyataan ini tidaklah harus diartikan bahwa teknik tes adalah satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik nontes.
Teknik evaluasi non tes berarti melaksanakan penilaian dengan tidak mengunakan tes. Teknik penilaian ini umumnya untuk menilai kepribadian peserta didik secara menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain. Yang berhubungan dengan kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara individu maupun secara kelompok.

3
Hasil belajar dan proses belajar tidak hanya dinilai oleh tes, baik melalui bentuk tes uraian maupun tes objektif, tetapi juga dapat dinilai oleh alat-alat non tes atau bukan tes. Alat-alat bukan tes yang sering digunakan antara lain ialah wawancara, kuesioner, skala (skala penilaian, skala sikap), observasi atau pengamatan, studi kasus, dan sosiometri. Wawancara dan kuisioner pada umumnya digunakan untuk menilai aspek kognitif seperti pendapat atau

4
pandangan seorang serta harapan dan aspirasinya di samping aspek afektif dan perilaku individu. Skala bisa digunakan untuk menilai aspek afektif seperti skala sikap dan skala minta serta aspek kognitif seperti skala penilaian. Observasi pada umumnya digunakan untuk memperoleh data mengenai perilaku individu atau proses kegiatan tertentu. Studi kasus digunakan untuk memperoleh data yang komprehensif mengenai kasus-kasus tertentu dari individu. Sosiometri pada umumnya digunakan untuk menilai aspek perilaku individu, terutama hubungan sosialnya. Catatan kumulatif digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang mendalam dan menyeluruh mengenai individu yang dilakukan terus-menerus sehingga diperoleh data dan informasi yang komprehensif.
Kelebihan non tes dari tes adalah sifatnya lebih komprehensif, artinya dapat digunakan untuk menilai berbagai aspek dari individu sehingga tidak hanya untuk menilai aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotoris.
Penggunaan non tes untuk menilai hasil dan proses belajar masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan penggunaan tes dalam menilai hasil dan proses belajar. Para guru di sekolah pada umumnya lebih banyak menggunakan tes daripada bukan tes mengingat alatnya mudah dibuat, penggunaannya lebih praktis, dan yang dinilai terbatas pada aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh peserta didik setelah menyelesaikan pengamalan belajarnya.[2]

B.     Macam-macam Evaluasi Nontes
1.         Wawancara
Wawancara adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak diberi kesempatan sama sekali

5
untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan hanya diajukan oleh subyek evaluasi.[3]
Sebagai alat penilaian, wawancara dapat digunakan untuk menilai hasil dan proses belajar. Kelebihan wawancara ialah bisa kontak langsung dengan peserta didik sehingga dapat mengungkapkan jawaban secara lebih bebas dan mendalam. Lebih dari itu, hubungan dapat dibina lebih baik sehingga siswa bebas mengemukakan pendapatnya. Wawancara bisa direkam sehinga jawaban peserta didik bisa dicatat secara lengkap. Melalui wawancara, data bisa diperoleh dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif. Pertanyaan yang tidak jelas dapat diulang dan dijelaskan lagi. Sebaliknya, jawaban yang belum jelas bisa diminta lagi dengan lebih terarah dan lebih bermakna  asal tidak mempengaruhi atau mengarahkan jawaban peserta didik.[4]
Tujuan dari wawancara adalah :
a.         Untuk memperoleh informasi secara langsung guna menjelaskan suatu situasi dan kondisi tertentu.
b.         Untuk melengkapi suatu penyelidikan ilmiah.
c.         Untuk memperoleh data agar dapat mempengaruhi situasi atau orang tertentu.[5]
Ada dua jenis wawancara, yaitu wawancara berstuktur dan wawancara bebas (tak berstruktur). Dalam wawancara berstruktur kemungkinan jawaban telah disiapkan sehingga peserta didik tinggal mengategorikannya kepada alternatif jawaban yang telah dibuat. Keuntungannya ialah mudah diolah dan dianalisis untuk dibuat kesimpulan. Sedangkan pada wawancara bebas, jawaban tidak perlu disiapkan sehingga peserta didik bebas mengemukakan pendapatnya. Keuntungannya ialah informasi lebih padat dan lengkap sekalipun kita harus bekerja keras dalam menganalisisnya sebab jawabannya bisa beraneka ragam. Hasil atau jawaban peserta didik tidak bisa ditafsirkan

6
langsung, tetapi perlu analisis dalam bentuk kategori dimensi-dimensi jawaban, sesuai dengan aspek yang diungkapkan.
Ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam melaksanakan wawancara, yakni :
a.         Tahap awal pelaksanaan wawancara
b.         Penggunaan pertanyaan
c.         Pencatatan hasil wawancara
Tahap awal wawancara bertujuan untuk mengondisikan situasi wawancara. Buatlah situasi yang mengungkapkan suasana keakraban sehingga peserta didik tidak merasa takut, dan ia terdorong untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas dan benar atau jujur.
Setelah kondisi awal cukup baik, barulah diajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan tujuan wawancara. Pertanyaan diajukan secara bertahap dan sistematis berdasarkan rambu-rambu atau kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya. Apabila pertanyaan dibuat secara berstruktur, pewawancara membacakan pertanyaan dan, kalau perlu alternatif jawabannya. Peserta didik diminta mengemukakan pendapatnya, lalu pendapat siswa diklasifikasikan ke dalam alternatif jawaban yang telah ada. Bila wawancara tak berstruktur, baca atau ajukan pertanyaan, lalu peserta didik diminta menjawab secara bebas.
Tahap terakhir adalah mencatat hasil wawancara. Hasil wawancara sebaiknya dicatat saat itu juga supaya tidak lupa. Mencatat hasil wawancara berstruktur cukup mudah sebab tinggal memberikan tanda pada alternatif jawaban, misalnya melingkari salah satu jawaban yang ada.
Sedangkan pada wawancara terbuka kita perlu mencatat pokok-pokok isi jawaban peserta didik pada lembaran tersendiri. Yang dicatat adalah jawaban apa adanya dari peserta didik, jangan tafsiran pewawancara ditambah dan dikurangi.
Sebelum melaksanakan wawancara perlu dirancang pedoman wawancara. Pedoman ini disusun dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a.        

7
Tentukan tujuan yang ingin dicapai dari wawancara. Misalnya untuk mengetahui pemahaman bahan pengajaran (hasil belajar) atau mengetahui pendapat peserta didik mengenai kemampuan mengajar yang dilakukan guru (proses belajar-mengajar).
b.         Berdasarkan tujuan diatas tentukan aspek-aspek yang akan diungkap dari wawancara tersebut. Aspek-aspek tersebut dijadikan dasar dalam menyusun materi pertanyaan wawancara. Aspek yang diungkap diurutkan secara sistematis mulai dari yang sederhana menuju yang kompleks dari yang khusus menuju yang umum, atau dari yang mudah menuju yang sulit.
c.         Tentukan bentuk pertanyaan yang akan digunakan, yakni bentuk berstruktur ataukah bentuk terbuka. Bisa saja kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Misalnya untuk beberapa aspek digunakan pertanyaan berstruktur, dan untuk beberapa aspek lagi dibuat secara bebas.
d.        Buatlah pertanyaan wawancara sesuai dengan analisis butir (c) diatas, yakni membuat pertanyaan yang berstuktur dan atau yang bebas.
e.         Ada baiknya apabila dibuat pula pedoman mengolah dan menafsirkan hasil wawancara, baik pedoman untuk wawancara berstruktur maupun untuk wawancara bebas.[6]
Dalam melaksanakan wawancara perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.         Hubungan baik antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai perlu dipupuk dan dibina, sehingga akan tampak hubungan yang sehat dan harmonis.
b.         Dalam wawancara jangan terlalu kaku, tunjukkan sikap yang bebas, ramah, terbuka, dan adaptasikan diri dengan responden.
c.         Perlakukan responden itu sebagai sesama manusia secara jujur.
d.        Hilangkan prasangka-prasangka yang kurang baik, sehingga pertanyan-pertanyaan yang diajukan bersifat netral.
e.        

8
Pertanyaan hendaknya jelas, tepat, dengan bahasa yang sederhana.16

2.         [7]Kuisioner
Kuesioner juga sering dikenal sebagai angket. Angket yaitu wawancara tertulis baik pertanyaan maupun jawabannya.[8] Pada dasarnya kuesioner adalah sebuah pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden). Dengan kuesiner ini orang dapat mengetahui tentang keadaan / data diri, pengalaman, pengetahuan sikap atau pendapatnya dan lain-lain.[9]
Kelebihan kuesioner dari wawancara ialah sifatnya yang praktis, hemat waktu, tenaga, dan biaya. Kelemahannya ialah jawaban sering tidak objektif, lebih-lebih bila pertanyaan kurang tajam yang memungkinkan peserta didik berpura-pura. Seperti halnya wawancara, kuesioner pun ada dua macam, yakni kuesioner langsung dan tidak langsung. Kelebihan masing-masing kuesioner tersebut hampir sama dengan wawancara.
Cara penyampaian kuesioner ada yang langsung dibagikan kepada peserta didik, yang setelah diisi lalu dikumpulkan lagi. Ada juga yang dikirim melalui pos. cara kedua belum menjamin terkumpulnya kembali sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Oleh karena itu, sebaiknya pengiriman kuesioner dibuat lebih dari yang diperlukan.
Alternatif jawaban yang ada dalam kuesioner bisa juga ditransformasikan dalam bentuk simbol kuantitatif agar menghasilkan data interval. Caranya ialah dengan jalan memberi skor terhadap setiap jawaban berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya ditanyakan tingkat pendidikan responden. Makin tinggi jenjang pendidikan yang dimilikinya, makin besar skor yang diberikan.
Cara menyusun kuesioner seperti pada tes prestasi belajar, sehingga berlaku langkah-langkah yang telah dijelaskan di muka, yakni dimulai dengan 

9
analisis variabel, membuat kisi-kisi, dan menyusun pertanyaan. Petunjuk yang lebih teknis dalam membuat kuisioner adalah sebagai berikut :
a.         Mulai dengan pengantar yang isinya permohonan mengisi kuesioner sambil dijelaskan maksud dan tujuannya.
b.         Jelaskan petunjuk atau cara mengisinya supaya tidak salah. Kalau perlu, diberikan contoh.
c.         Mulai dengan pertanyaan untuk mengungkapkan identitas responden. Dalam identitas ini sebaiknya tidak diminta mengisi nama. Identitas dukup mengungkapkan jenis kelamin, usia, kelas, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan tujuan kuesioner.
d.        Isi pertanyaan sebaiknya dibuat beberapa kategori atau bagian sesuai dengan variabel yang diungkapkan sehingga mudah mengolahnya.
e.         Rumusan pertanyaan dibuat singkat, tetapi jelas sehingga tidak membingungkan dan salah mengakibatkan penafsiran.
f.          Hubungan antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan lain harus dijaga sehingga tampak logikanya dalam satu rangkaian yang sistematis. Hindari penggolongan pertanyaan terhadap indikator atau persoalan yang sama.
g.         Usahakan kemungkinan agar jawaban, kalimat, atau rumusannya tidak lebih panjang daripada pertanyaan.
h.         Kuesioner yang terlalu banyak atau terlalu panjang akan melelahkan dan membosankan responden sehingga pengisiannya tidak objektif lagi.
i.           Ada baiknya kuesioner diakhiri dengan tanda tangan si pengisi untuk menjamin keabsahan jawabannya.[10]
Untuk melihat validitas jawaban kuesioner, ada baiknya kepada beberapa responden secara acak dilakukan wawancara dengan pertanyaan yang identik dengan isi kuesioner yang telah diisinya.
Tujuan penggunaan kuesioner dalam kegiatan pengajaran adalah sebagai berikut :
a.        

10
Untuk memperoleh data mengenai latar belakang peserta didik sebagai bahan dalam menganalisis tingkah laku hasil dan proses belajarnya.
b.         Untuk memperoleh data mengenai hasil belajar yang dicapainya dan proses belajar yang ditempuhnya.
c.         Untuk memperoleh data sebagai bahan dalam menyusun kurikulum dan program belajar-mengajar.
Kuesioner untuk tujuan yang pertama (latar belakang peserta didik) dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka ataupun yang berstruktur mengungkapkan antara lain :
1)        Identitas siswa seperti jenis kelamin, usia, agama, keadaan fisik, hobi atau kegemaran, dan mata pelajaran yang disenangi.
2)        Latar belakang keluarganya seperti pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, anak keberapa, dan fasilitas keluarga dirumah.
3)        Latar belakang lingkungan peserta didik seperti alamat tempat tinggal, suasana religius, aktivitas dalam organisasi kemasyarakatan, pemanfaatan waktu renggang, dan kelompok bermain.
Kuesioner untuk tujuan kedua, yakni hasil dan proses belajar, mengungkapkan beberapa aspek seperti hasil belajar yang dicapainya. Kesulitan belajar, cara belajar, fasilitas belajar, bimbingan yang diperlukan, motivasi dan minat belajar, sikap terhadap proses mengajar, dan sikap terhadap guru.
Kuesioner untuk tujuan ketiga, yakni untuk keperluan kurikulum dan program pengajaran, mengungkapkan aspek yang berkenaan dengan bahasan, relevansi dan kegunaan bahan pelajaran, cara menyajikan bahan, tingkat kesulitan bahan, cara guru mengajar, kesinambungan bahan pelajaran, sistem penilaian atau ujian, buku pelajaran, alat peraga, laboratorium atau praktikum, kegiatan ekstrakurikuler, lama belajar, dan kegiatan peserta didik.[11]
Kuesioner yang hanya menuntut jawaban “ya” dan “tidak” disebut inventori. Kuesioner seperti ini kurang dapat mengungkapkan pendapat siswa

11
secara menyeluruh, terbuka, dan jawaban-jawaban yang bermakna. Namunm keuntungannya ialah sederhana dan mudah diolah dan ditafsirkan.

3.         Skala  
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, minat dan perhatian yang disusun dalam bentuk pertanyaan untuk dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Dalam uraian ini hanya akan dijelaskan skala penilaian (rating scale) dan skala sikap.[12] Skala biasanya dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap sikap atau penilaian kualitatif dengan menggunakan bentuk skala (kuantitatif).[13]
a.         Skala Penilaian
Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui pernyataan perilaku individu pada suatu titik kontinu atau suatu kategori yang bermakna nilai. Titik atau kategori diberi nilai rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Rentangan ini bisa dalam bentuk huruf (A, B, C, D), angka (4, 3, 2, 1) atau 10, 9, 8, 7, 6,5. Sedangkan rentangan kategori bisa tinggi, sedang, rendah, atau baik, sedang, kurang.
Hal yang penting diperhatikan dalam skala penilaian adalah kriteria skala nilai, yakni penjelasan operasional untuk setiap alternatif jawaban (A, B, C, D). Adanya kriteria yang jelas untuk setiap alternatif jawaban akan mempermudah pemberian penilaian dan terhindar dari subyektivitas penilaian. Tugas penilai hanya memberi tanda cek (V) dalam kolom rentangan nilai.
Skala nilai di atas bisa juga menggunakan kategori baik, sedang dan kurang atau dengan angka 4, 3, 2, 1 bergantung pada keinginan penilai. Skala penilaian dapat menghasilkan data interval tersebut. Dalam contoh diatas skor

12
maksimal adalah 20, diperoleh dari 5 x 4, skor minimal adalah 5, diperoleh dari 1 x 5.
Dalam skala kategori, penilai bisa membuat rentangan yang lebih rinci misalnya baik sekali, baik, sedang, kurang, dan kurang sekali. Ada satu model skala penilaian lain, yaitu skala penilaian komparatif. Alam skala ini penilai diminta melakukan penilaian dengan cara membandingkan subyek yang dinilai dengan posisi orang laian yang sejenis sebagai ukuran bandingan.
Skala penilaian lebih tepat digunakan untuk mengukur suatu proses, misalnya proses mengajar pada guru, proses belajar pada peserta didik, atau hasil belajar dalam bentuk perilaku seperti keterampilan, hubungan sosial peserta didik, dan cara memecahkan masalah.
Seperti halnya instrumen yang lain, penyusunan skala penilaian hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)        Tentukan tujuan yang akan dicapai dari skala penilaian ini sehingga jelas apa yang sehuarusnya dinilai.
2)        Berdasarkan tujuan tersebut, tentukan aspek atau variabel yang akan diungkap melalui instrumen ini.
3)        Tetapkan bentuk rentangan nilai yang akan digunakan, misalnya nilai angka atau kategori.
4)        Buatlah item-item pertanyaan yang akan dinilai dalam kalimat yang singkat tetapi bermakna secara logis dan sistematis.
5)        Ada baiknya menetapkan pedoman mengolah dan menafsirkan hasil yang diperoleh dari penilaian ini.
Skala penilaian dalam pelaksanaannya dapat digunakan oleh dua orang penilai atau lebih dalam menilai subjek yang sama. Maksudnya agar diperoleh hasil penilaian yang obyektif mengenai perilaku subyek yang dinilai.
Skala yang penilaiannya tidak dibuat dalam bentuk rentangan nilai tetapi hanya mendiskripsikan apa adanya, disebut daftar checklist. Dalam daftar cek jawaban dikategorikan misalnya ada, tidak ada, atau dilakukan, tidak dilakukan, dan di kata-kata lain yang sejenis. Hal-hal lainnya sama dengan

13
skala penilaian, baik cara menyusunnya, bentuk-bentuknya, maupun pengolahan dan interpretasinya.[14]
b.         Skala Sikap
Sikap merupakan digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus yang datang kepada dirinya.
Ada tiga kompenen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek atau stimulus yang dihadapinya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tersebut. Oleh karana itu, sikap selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu, misalnya sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, sikap mahasiswa terhadap pendidikan politik, atau sikap guru terhadap profesinya.
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pertanyaan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau ditolaknya, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh karena itu, pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subyek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju. Skor yang diberikan terhadap pilihan tersebut bergantung pada penilai asal penggunaannya konsisten. Yang jelas, skor untuk pernyataan positif dan pernyataan negatif adalah kebalikannya seperti tampak dalam contoh.


14
Tabel Pernyataan Skala Sikap
Pernyataan sikap
Sangat
setuju
Setuju
Tidak punya pendapat
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
Pernyataan positif
2
5
1
4
0
3
1
2
2
1
Pernyataan negatif
2
1
1
2
0
3
1
4
2
5         

Pernyataan sikap, disamping kategori positif dan negatif, harus pula mencerminkan dimensi sikap, yakni kognisi, afeksi dan konasi. Berikut ini adalah contoh pernyataan sikap.
1)        Saya senang membaca tulisan yang berkenaan dengan bidang studi aqidah akhlak (+, afeksi).
2)        Saya merasa sulit menyisihkan waktu untuk belajar lebih lama (-, afeksi).
3)        Saya berpendapat bahwa bidang studi aqidah akhlak sangat menyenangkan (+, kognisi).
4)        Saya sering minta pendapat dari teman dikelas mengenai kekurangan bidang studi aqidah akhlak saya (+, konasi)
5)        Saya merasa telah cukup menguasai bidang studi aqidah akhlak (-,afeksi).
Beberapa petunjuk untuk menyusun skala Likert:
1)        Memilih variabel afektif yang akan diukur.
2)        Membuat beberapa pernyataan tentang variabel afektif yang akan diukur.
3)        Mengklasifikasikan pernyataan positif dan negatif.
4)       

15
Menentukan jumlah gradual dan frase atau angka yang dapat menjadi alternatif pilihan.
5)        Menyusun pernyataan dan pilihan jawaban menjadi sebuah alat penilaian.
6)        Melakukan uji coba.
7)        Membuang butir-butir pernyataan yang kurang baik.
8)        Melaksanakan penilaian.[15]
Contoh  : Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran aqidah akhlak Petunjuk :
1)        Pengisian skala ini tidak ada hubungannya dengan prestasi belajar. Anda tidak perlu mencantumkan nama dan nomor absen.
2)        Pilihlah salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai dengan cara memberikan tanda cek (√) pada kolom yang telah disediakan. Keterangan :
SS     : Sangat Setuju
S        : Setuju
TT     : Tidak Tahu
TS     : Tidak Setuju
STS   : Sangat Tidak Setuju.[16]






16
Tabel Contoh Pengisian Skala sikap
No.
Pernyataan
SS
S
TT
TS
STS
1.
Saya mempersiapkan diri untuk menerima pelajaran aqidah akhlak di kelas





2.
Saya berperan aktif dalam kegiatan  pembelajaran aqidah akhlak.





3.
Saya suka melakukan perbuatan baik setiap hari





4.
Saya tertarik artikel yang berhubungan dengan aqidah akhlak





5.
Saya memperkaya materi dari guur dan membaca buku-buku agama sebagai penunjang





6.
Saya senang mengulang pelajaran aqidah akhlak dirumah.





7.
Dst






4.         Observasi
Observasi adalah pengamatan kegiatan seperti dalam diskusi, kerja kelompok, eksperimen, dan sebagainya.[17] Observasi juga bisa diartikan suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis.[18]
Sebenarnya observasi merupakan suatu proses yang alami, dimana kita semua sering melakukannya, baik secara sadar maupun tidak sadar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kelas, guru sering melihat, mengamati, dan melakukan interprestasi. Dalam kehidupan sehari-haripun kita sering

17
mengamati orang lain. Pentingnya observasi dalam kegiatan evaluasi pembelajaran mengharuskan guru untuk memahami lebih jauh tentang judgement, bertindak secara reflektif, dan menggunakan komentar orang lain sebagai informasi untuk membuat judgement yang lebih reliabel.
Hal yang harus dipahami oleh anda adalah bahwa tidak semua apa yang dilihat disebut observasi. Dengan kata lain, observasi yang dilakukan oleh guru di kelas tidak cukup dengan hanya duduk dan melihat melainkan harus dilakukan secara sistematis, sesuai dengan aspek-aspek tertentu, dan berdasarkan tujuan yang jelas. Untuk memperoleh hasil observasi yang baik, maka kemampuan anda dalam melakukan pengamatan harus sering dilatih, mulai dari hal-hal yang sederhana sampai dengan hal-hal yamg kompleks.
Observasi merupakan salah satu alat evaluasi jenis nontes yang dilakukan dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif dan rasional mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu. Observasi tidak hanya digunakan dalam kegiatan evaluasi, tetapi juga dalam bidang penelitian, terutama penelitian kualitatif (qualitative research). 
Tujuan utama observasi adalah :
a.         Untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi sesungguhnya maupun dalam situasi buatan.
b.         Untuk megukur perilaku kelas, interaksi antara peserta didik dan guru, dan faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama kecakapan sosial (social skills). 
Dalam evaluasi, observasi dapat digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik, seperti tingkah laku peserta didik pada waktu belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Dalam melakukan evaluasi kita harus memahami tentang :
a.         Konsep dasar observasi, mulai dari pengertian, tujuan, fungsi, peranan, karakteristik, prinsip-prinsip sampai dengan prosedur observasi.
b.        

18
Perencanaan observasi, seperti menentukan kegiatan apa yang akan diobservasi, siapa yang akan melakukan observasi, rencana sampling, menyusun pedoman observasi, melatih pihak-pihak yang akan melakukan observasi dalam mengunakan pedoman observasi.
c.         Prosedur observasi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan penafisran sampai dengan pelaporan hasil observasi.
Observasi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :
a.         Mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan observasi tidak menyimpang dari permasalahan.
b.         Bersifat ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis, kritis, objektif dan rasional.
c.         Terdapat berbagai aspek-aspek yang akan diobservasi.
d.        Praktis penggunaannya.
Terdapat enam ciri-ciri dalam observasi :
a.         Observasi mempunyai arah yang khusus, bukan secara tidak teratur melihat sekeliling untuk mencari kesan-kesan umum.
b.         Observasi ilmiah tentang tingkah laku adalah sistematis, bukan secara sesuka hati dan untung-untungan mendekati situasi.
c.         Observasi bersifat kuantitatif, mencatat jumlah peristiwa tentang tipe-tipe tingka laku tertentu.
d.        Observasi mengadakan pencatatan dengan segera, pencatatan-pencatatan dilakukan secepat-cepatnya, bukan menyandarkan diri pada ingatan.
e.         Observasi meminta keahlihan, dilakukan oleh seseorang yang memang telah terlatih untuk melakukannya.
f.          Hasil-hasil observasi dapat dicek dan dibuktikan untuk menjamin keadaan dan kesahihan.
Ciri-ciri observasi diatas mempunyai kelemahan yang pertama, dalam penyelidikan yang bersifat eksploitatif, justru yang bersifat kuantitatif kebanyakan dikesampingkan, kedua, dalam observasi partisipan tidak dapat dilakukan pencatatan dengan segera. Oleh sebab itu, observasi harus dilakuakn dengan hati-hati dan terencana.

19
Dilihat dari kerangka kerjanya, observasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a.         Observasi berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer telah ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan kerangka kerja yang berisi faktorfaktor yang telah diatur kategorinya. Isi dan luas materi observasi telah ditetapkan dan dibatasi dengan jelas dan tegas.
b.         Observasi tak berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer tidak dibatasi oleh suatu kerangka kerja yang pasti. Kegiatan observer hanya dibatasi oleh tujuan observasi itu sendiri.
Sedangkan bila dilihat dari teknik pelaksanaannya, observasi dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu :
a.         Observasi langsung, yaitu observasi yang dilakukan secara langsung terhadap objrk yang diselidiki.
b.         Observasi tak langsung, yaitu observasi yang dilakukan melalui perantara, baik teknik maupun alat tertentu.
c.         Observasi partisipasi, yaitu observasi yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti. 
Dengan demikian, hasil pengamatan akan lebih berarti, lebih obyektif, sebab dapat dilaporkan sebagaimana adanya seperti pada diri pengamat. Kelemahan yang sering terjadi di dalam observasi ada pada  pengamat itu sendiri. Misalnya kurang cermat, kurang berkonsentrasi, lekas bosan sehingga hassil pengamatannya lebih banyak dipengaruhi pendapatnya, bukan oleh perilaku yang ditunjukkan oleh obyek yang diamatinya. Cara mengatasinya ialah dengan melakukan observasi oleh dua orang atau lebih secara terpisah terhadap satu individu yang diamati. Hasilnya dibandingkan dan dicocokkan untuk menentukan hasil akhir pengamatan dari semua pengamat.
Untuk menyusun pedoman observasi, sebaiknya mengikuti langkahlangkah sebagai berikut :
a.         Merumuskan tujuan observasi
b.         Membuat lay out atau kisi-kisi observasi
c.         Menyusun pedoman observasi
d.       

20
Menyusun aspek-aspek yang akan diobservasi, baik yang berkenaan dengan proses belajar peserta didik maupun kepribadiannya.
e.         Melakukan uji-coba pedoman observasi untuk melihat kelemahankelemahan pedoman observasi.
f.          Merevisi pedoman observasi berdasarkan hasil uji coba
g.         Melaksanakan observasi pada saat kegiatan berlangsung.
h.         Mengolah dan menafsirkan hasil observasi.[19]
Berhasil tidaknya observasi sebagai alat penilaian bergantung pada pengamat, bukan pada pedoman observasi. Oleh karena itu, memilih pengamat yang cakap, mampu, dan menguasai segi-segi yang diamati sangat diperlukan.
Observasi untuk menilai proses belajar mengajar dapat dilaksanakan oleh guru dikelas pada saat peserta didik melakukan kegiatan belajar. Untuk itu guru tidak perlu terlalu formal memperhatikan siswa, tetapi ia mencatat secara teratur gejala dan perilaku yang ditunjukkan oleh setiap peserta didik. Misalnya hubungan sosial peserta didik dalam diskusi. Partisipasi peserta didik dalam memecahkan masalah. Dan tanggung jawab dalam mengerjakan tugas. Lebih dari itu guru dapat pula mengamati hasil belajar peserta didik, setelah peserta didik selesai mengerjakan tugas-tugas belajarnya seperti ketelitian, kesungguhan, ketepatan jawaban, dan tulisan atau bahasa. Dengan demikian, observasi sangat dimungkinkan penggunaannya oleh guru, baik dalam menilai proses belajar mengajar maupun dalam menilai hasil belajar peserta didik. Observasi juga lebih praktis dibandingkan dengan alat penilaian bukan tes lainnya.[20]



5.        

21
Studi Kasus
Studi kasus pada dasarnya mempelajari secara intensif seorang individu yang dipandang mengalami suatu kasus tertentu. Misalnya mempelajari secara khusus anak nakal, anak yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, anak yang selalu gagal belajar, atau anak pandai, anak yang paling pandai disukai teman-temannya. Kasus-kasus tersebut (pilih salah satu yang paling diperlukan) dipelajarinya secara mendalam dan dalam kurun waktu yang cukup lama. Mendalam artinya mengungkapkan semua variabel yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut dari berbagai aspek yang mempengaruhi dirinya. Tekanan utama dalam studi kasus adalah mengapa individu melakukan apa yang dilakukannya  dan bagaimana tingkah lakunya dalam kondisi dan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Untuk mengungkapkan persoalan tersebut, perlu dicari data yang berkenaan dengan pengamalan individu tersebut pada masa lalu, sekarang, lingkungan yang membentuknya, dan kaitan variabel-variabel yang berkenaan dengan kasusnya. Data diperoleh dari berbagai sumber seperti aorang tuanya, teman dekatnya, guru, bahkan juga dari dirinya. Teknik memperoleh data sangat komprehensif, misalnya dengan observasi perilakunya, wawancara, analisis dokumenter, atau tes, bergantung pada kasus yang dipelajari. Setiap data dicatat secara cermat, kemudian dikaji, dihubungkan satu sama lain, kalau perlu dibahas dengan yang lain sebelum menarik kesimpulankesimpulan penyebab terjadinya kasus atau persoalan yang ditunjukkan oleh individu tersebut. Studi kasus mengisyaratkan pada penilaian kualitatif.
Kelebihan studi kasus dari studi lainnya adalah bahwa subyek dapat dipelajari secara mendalam dan menyeluruh. Namun, kelemahannya sesuai dengan sifat studi kasus bahwa informasi yang diperoleh sifatnya subjektif, artinya hanya untuk individu yang bersangkutan, dan belum tentu dapat digunakan untuk kasus yang sama pada individu yang lain. Dengan kata lain, generalisasi informasi sangat terbatas penggunaannya. Hasil studi kasus dapat menghasilkan hipotesis yang dapat diuji lebih lanjut. Banyak teori, konsep,

22
dan prinsip dalam proses perubahan tingkah laku individu dilakukan oleh guru, guru pembimbing, wali kelas, terutama untuk kasus-kasus siswa disekolah. Pada umumnya permasalahannya berkenaan dengan kegagalan belajar, tidak dapat menyesuaikan diri, gangguan emosional, frustasi, dan sering membolos serta kelainan-kelainan perilaku peserta didik. Menemukenali kasus-kasus pada peserta didik dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah lakunya, menganalisis prestasi belajar yang dicapai, hubungan sosial dengan teman sekelas, mempelajari perilaku-perilaku ekstrem dari siswa, dan lain-lain.
Beberapa petunjuk untuk melaksanakan studi kasus dalam bidang pendidikan, khususnya di sekolah :
a.         Menemukenali peserta didik sebagai kasus, artinya menetapkan siapasiapa di antara peserta didik yang mempunyai masalah khusus untuk dijadikan kasus.
b.         Menetapkan jenis masalah yang dihadapi siswa dan perlu mendapatkan bantuan pemecahan oleh guru. Dalam langkah ini guru sebaiknya mewawancarai siswa untuk menentukan jenis masalah yang dihadapi peserta didik tersebut.
c.         Mencari bukti-bukti lain untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah yang dihadapi peserta didik tersebut melalui analisis hasil belajar yang dicapainya, mengamati perilakunya, bertanya kepada teman sekelasnya, kalau perlu meminta penjelasan dari orang tuanya.
d.        Mencari sebab-sebab timbulnya masalah dari berbagai aspek yang berkenaan dengan kehidupan peserta didik itu sendiri.
e.         Menganalisis sebab-sebab tersebut dan menghubungkannya dengan tingkah laku peserta didik agar diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai latar belakang peserta didik.
f.          Dengan informasi yang telah lengkap tentang faktor penyebab tersebut, guru dapat menentukan sejumlah alternatif pemecahanya. Setiap informasi dikaji lebih lanjut untuk menetapkan alternatif mana yang paling baik untuk dapat mangatasi masalah peserta didik.
g.        

23
Alternatif yang telah teruji sebagai upaya pemecahan masalah dibicarakan dengan siswa untuk secara bertahap diterapakan, baik oleh peserta didik itu sendiri maupun oleh guru.
h.         Terus mengadakan pengamatan dan pemantauan terhadap tingkah laku peserta didik tersebut untuk melihat perubahan-perubahannya. Jika belum menunjukkan perubahan, perlakuan guru harus lebih ditingkatkan lagi dengan menggunakan alternatif lain yang telah ditemukenali sebelumnya.
Langkah di atas adalah sekadar gambaran umum yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis kasus yang dihadapi dan kondisi lingkungan yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut.
Studi lain yang hampir sama adalah studi perkembangan. Studi perkembangan mempelajari karakteristik individu dan bagaimana karakteristik itu berubah dalam pertumbuhannya. Karakteristik individu mencakup segi-segi intelektual, emosional, sosial dan kepribadian individu. Studi ini dapat dilakukan kepada sekelompok individu pada usia tertentu, atau dapat juga dilakukan terhadap seorang individu. Perbedaannya dengan studi kasus ialah studi perkembangan seorang individu dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, kelemahan utama studi ini adalah waktunya yang terlalu lama sehingga menuntut biaya, tenaga dan sumbersumber lain yang cukup banyak. Ada dua teknik yang biasa digunakan dan saling melengkapi dalam studi perkembangan, yakni (a) studi longitudinal dan (b) studi cross-sectional.
Studi longitudinal atau metode jangka panjang dalam pelaksanaannya menggunakan sampel yang sama untuk jangka waktu yang panjang. Misalnya peneliti mempelajari keterampilan berbahasa siswa kelas satu MI, dan keterampilan tersebut diukur setiap tahun di kelas-kelas berikutnya untuk melihat perkembangannya pada peserta didik tersebut. Dengan studi tersebut dapat dilihat perubahan dan perkembangan kererampilan dalam jangka waktu tertentu untuk kelompok atau kelas tersebut. Dalam studi ini sampelnya dalah semua subjek di kelas tersebut, dan karena itu memungkinkan dapat

24
dilaksanakan oleh guru. Perbedaan hasil pengukuran antara kelas pertama dengan kelas berikutnya dapat diasumsikan sebagai perubahan dalam keterampilan berbahasa tulisan pada peserta didik selama studi itu berlangsung. Studi yang mendalam mengenai individu dapat dilaksanakan kepada subjek yang sama, kemudian dikumpulkan informasinya dalam jangka waktu tertentu pada setiap taraf sesuai dengan perkembangan individu itu sendiri.
Kelemahan studi ini adalah menuntut biaya, tenaga, dan sumber-sumber yang cukup besar sebab dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama. Demikian pula mempelajari perkembangan individu cukup sulit sebab dalam pertumbuhan dan perkembangannya individu berinteraksi dengan lingkungannya sehingga banyak faktor yang berpengaruh terhadap gejala yang sedang dipelajari.
Metode cross sectional dilaksanakan dalam waktu yang pendek sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada metode longitudinal. Metode ini mempelajari semua individu yang berbeda taraf umurnya dalam titik waktu yang sama. Dalam contoh diatas keterampilan berbahasa tulisan dipelajari pada peserta didik sebagai sampel dari beberapa kelas yang berbeda, dan pada titik dan kurun waktu tertentu diukur keterampilannya. Kemudian hasil pengukuran dibandingkan untuk setiap kelas yang berbeda taraf umurnya. Perbedaan sampel-sampel tersebut merupakan dasar dalam menarik kesimpulan tentang pertumbuhan anak dalam hal keterampilan berbahasa tulisan. Kelemahan metode ini adalah faktor kebetulan sebab bisa terjadi sampel dalam studi ini sangat bervariasi pertumbuhannya. Demikian juga adanya pengaruh dari variabel ekstra tidak dapat dihindari. Metode ini tepat digunakan apabila ingin mempelajari karakteristik peserta didik pada umumnya pada taraf yang berbeda-beda dan memungkinkan dapat diperoleh sampel yang cukup besar. Metode ini juga dapat membandingkan karakteristik tertentu saat ini dari subjek atau peserta didik pada kelas yang berbeda tingkatannya, misalnya kelas IV dengan kelas V MI. Namun, apabila ingin melihat perubahan karakteristik tertentu dari

25
subyek, lebih tepat digunakan studi longitudinal, sebab menggunakan subyek yang sama tarafnya dalam kurun waktu tertentu.
Beberapa kasus yang sering terjadi pada peserta didik di sekolah antara lain ialah :
a.         Kegagalan belajar yang dapat dilihat dari prestasi yang dicapainya, baik dalam mata pelajaran tertentu maupun untuk semua mata pelajaran yang diberikan disekolah.
b.         Ketidakmampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sekolah yang dapat dilihat dari perilaku peserta didik seperti mengisolasi dirinya, tidak bisa bergaul dengan teman-temannya, atau tidak berpartisipasi dalam melaksanakan tugas belajar dalam kelompoknya.
c.         Gangguan emosional yang berlebihan seperti cepat marah, muda tersinggung, menangis
d.        Kenakalan yang sifatnya menyimpang dari nilai sosial, moral, hukum seperti suka mencuri barang milik teman-temannya, suka mengganggu orang lain, berbuat onar di sekolah, suka membolos, mabuk-mabukan
e.         Terlibat dalam tindakan kriminal seperti pencurian, perkelahian.
Bentuk kasus-kasus diatas, dan mungkin masih banyak lagi, bersumber dari tiga faktor utama, yakni faktor dari dirinya, faktor keluarga, faktor lingkungan. Dari faktor dirinya berkenaan dengan dorongan atau nalurinya, ketidakpuasan, kompensasi, sublimasi yang dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan untuk menarik perhatian orang lain. Dari faktor keluarga pada umumnya karena kurang perhatian dari orang tuanya yang berkenaan dengan tidak terpenuhinya tuntutan kebutuhannya, seperti kasih sayang, keamanan, fasilitas belajar, uang jajan, dll. Sedangkan dari lingkungan terutama akibat pergaulan dengan teman-temannya, lingkungan tempat tinggal, pengaruh kelompoknya, dan lain-lain.
Penanganan kasus tersebut hendaknya dilakukan oleh guru bekerja sama denagn orang tuanya. Dalam hal ini peranan wali kelas, guru pembimbing, guru bidang studi sangat diperlukan. Perhatian terhadap siswa yang menjadi kasus harus ditingkatkan melalui berbagai cara, satu diantaranya

26
mendekatkan diri dengan siswa tersebut sehingga ia merasa diperhatikan. Lebih jauh lagi guru, pembimbing, wali kelas menggali informasi dari peserta didik yang bersangkutan sebab-sebab terjadinya kasus sebagai bahan untuk mencari pemecahannya.
Efek peserta didik yang mengalami kasus sangat merugikan, baik bagi siswa yang bersangkutan maupun bagi netertiban dan tegaknya disiplin sekolah disamping citra sekolah di masyarakat. Bahkan bisa ditafsirkan bahwa makin banyaknya kasus di sekolah menunjukkan kelemahan atau kegagalan sekolah dalam melaksanakan pendidikan.[21]

6.         Sosiometri
Sosiometri adalah suatu prosedur, untuk merangkum, menyusun, dan sampai batas tertentu dapat mengkuantifikasi pendapat-pendapat peserta didik tentang penerimaan teman sebayannya serta hubungan di antara mereka. Misalnya, di madrasah banyak peserta didik kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia nampak murung, mengasingkan diri, mudah tersinggung atau bahkan over acting. Hal ini dapat dilihat ketika mereka sedang istirahat, bermain atau mengerjakan tugas kelompok. Fenomena tersebut menunjukkan adanya kekurangmampuan peserta didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kondisi seperti ini perlu diketahui dan dipelajari oleh guru dan dicarikan upaya untuk memperbaikinya, karena dapat mengganggu proses belajarnya.
Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan sosial peserta didik adalah sosiometri. Terdapat beberapa langkah dalam menggunakan sosiometri, yaitu:
7.         Memberikan “petunjuk” atau pertanyaan-pertanyaan, seperti :”tuliskan pada selembar kertas nama teman-temanmu yang paling baik di dalam kelas ? “, atau” siapa diantara temanmu yang sering meminjamkan buku pelajaran kepada teman-teman yang lain”, dan sebagainya.
8.         Mengumpulkan jawaban yang sejujurnya dari semua peserta didik.
9.        

27
Jawaban-jawaban tersebut dimasukkan ke dalam tabel.
10.     Pilihan-pilihan yang tertera dalam tabel digambarkan pada sebuah sosiogram.[22]
Dengan demikian, hasil dari sosiometri dapat dijadikan bahan bagi guru dalam mempelajari para peserta didiknya. Dengan kata lain sosiometri dapat digunakan sebagai salah satu alat dalam menemukan kasus-kasus peserta didik di sekolah dilihat dari hubungan sosialnya, dan dijadikan alat untuk melengkapi data mengenai perkembangan peserta didik.[23]

C.       Pentingnya Evaluasi Non Tes
Teknik  non tes  merupakan  teknik  penilaian  untuk  memperoleh gambaran  terutama mengenai  karakteristik,  sikap,  atau  kepribadian.  Selama  ini  teknik  non tes  kurang digunakan    dibandingkan  teknis  tes. Dalam  proses  pembelajaran  pada  umumnya kegiatan   penilaian mengutamakan teknik tes. Hal ini dikarenakan lebih berperannya aspek pengetahuan dan keterampilan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan guru   pada   saat   menentukan   pencapaian   hasil   belajar  siswa. Seiring   dengan berlakunya  kurikulum  tingkat  satuan pendidikan (KTSP)  yang  didasarkan  pada standar  kompetensi  dan  kompetensi dasar  maka  teknik  penilaian  harus  disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.         Kompetensi yang diukur;
2.         Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan atau sikap);
3.         Kemampuan peserta didik yang akan diukur;
4.         Sarana dan prasarana yang ada.
Dengan kata lain, banyak proses dan hasil belajar yang hanya dapat diukur dengan teknik non tes. Untuk itu, jika guru di sekolah hanya menggunakan teknik tes, tentu hal ini dapat merugikan peserta didik dan

28
orang tua. Teknik nontes digunakan sebagai suatu kritikan terhadap kelemahan teknik tes. Oleh karena itu evaluasi teknik non tes sangat penting dilakukan.[24] 



























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Teknik evaluasi non tes berarti melaksanakan penilaian dengan tidak mengunakan tes. Teknik penilaian ini umumnya untuk menilai kepribadian peserta didik secara menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain
Macam-macam evaluasi nontes yaitu wawancara, kuosioner, skala, observasi, studi kasus dan sosiometri.
Wawancara adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya jawab sepihak.
Kuesioner juga sering dikenal sebagai angket. Angket yaitu wawancara tertulis baik pertanyaan maupun jawabannya
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, minat dan perhatian yang disusun dalam bentuk pertanyaan untuk dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Skala terdiri dari skala penilaian dan skala sikap. Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain oleh seseorang melalui pernyataan perilaku individu pada suatu titik kontinu atau suatu kategori yang bermakna nilai. Skala Sikap merupakan digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu.
Observasi adalah pengamatan kegiatan seperti dalam diskusi, kerja kelompok, eksperimen, dan sebagainya
Studi kasus pada dasarnya mempelajari secara intensif seorang individu yang dipandang mengalami suatu kasus tertentu.
Sosiometri adalah suatu prosedur, untuk merangkum, menyusun, dan sampai batas tertentu dapat mengkuantifikasi pendapat-pendapat peserta didik tentang penerimaan teman sebayannya serta hubungan di antara mereka.

29
 



30
Pentingnya teknik  penilaian  non tes digunakan untuk  memperoleh gambaran  terutama mengenai  karakteristik,  sikap,  atau  kepribadian.

B.       Saran
Sebagai calon pendidik, jenis evaluasi non tes sangat cocok dengan materi IPA karena mencakup semua aspek yang dinilai yakni aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun dalam pelaksanaannya perlu persiapan yang matang sehingga hasil belajar yang diukur mendapatkan hasil yang maksimal.






















DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah. Jakarta Pusat
Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara
H. Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta

31
Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya




[1] Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1996),  cet Ke-9, h. 113.
[2] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 67.
[3]   H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), cet Ke-1, h. 33.
[4] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 68.
[5] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 150.
[6]   Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 69.
[7] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan   Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 151.
[8] Muhamma Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1999), cet  Ke-9, h. 117
[9] H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), cet Ke-1, h. 30
[10] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 71.
[11] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 72.
[12] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 77.
[13] Muhamma Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1999), cet  Ke-9, h. 117.
[14] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 79.
[15] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 152.
[16] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 153.
[17] Muhamma Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1999), cet  Ke-9, h. 117.
[18] H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), cet Ke-1, h. 33.
[19] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 149
[20] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 94.
[21]   Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 98.
[22] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah , (Jakarta Pusat, 2009), cet.Ke-1, h. 167.
[23] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-17, h. 103.
[24] Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Bumi Aksara, 2008).

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kiri kanan home